Tradisi Seni Ritual Tarawangsa di Desa Rancakalong Sumedang

 

Musik tradisi tarawangsa adalah sejenis ensambel kecil, yang terdiri dari dua instrument yaitu sebuah istrument gesek dan dan sebuah instrument petik. Secara organologi instrumet gesek tarawangsa yang memiliki dua buah dawai ini mirip seperti rebab dan instrumen petik tarawangsa yang memiliki 7 dawai, secara bentuk dan fungsi hampir sama dengan kecapi ataupun siter. 

Fungsi waditra tarawangsa sama seperti rebab sebagai murba lagu atau pembawa lagu, kemudian sebagai anggeran wiletan (ketetapan) yang memberi anggeran dalam pergantian tekanan, yaitu dawai yang kedua di petik sebagai knong dan gong. 

Kecapi pada tarawangsa berfungsi sebagai balungan gending atau kerangka gending yang menjadi pola sebuah lagu. Di perkirakan musik tradisi tawangsa sudah ada sebelum abad ke 14 masehi, hal ini dibuktikan dalam literatur primer naskah sunda Sewaka Dharma, yang diperkirakan berangka tahun 1021 saka atau sama dengan 1099 masehi, yang mungkin merupakan hiburan rakyat pada masa kerajaan Pajajaran.

Pada naskah ini, Tarawangsa  di sebutkan pada halaman ke-44 dan halaman ke-45 sebagai berikut :
Nu na[ng]gapan, sada canang, sada gangsa tumpang kembang, sada kumbang tarawangsa ngeui[k], sada titila[r]ri[ng] bumi, sada tatabeuhan jawa, sada gobeng direka cali[n]tu di an[n]jung, sada handaru kacapi la[ng]nga, sada keruk sagung. 
Terjemahannya :
Terdengar bunyi-bunyian, suara canang, suara gamelan tumpang kembang, suara kumbang dan tarawangsa menyayat hati, suara peninggalan bumi, suara gamelan jawa, suara baling-baling di tingkah calintuh di danau, suara deru kacapi penuh khawatir, suara sedih semua. 
Dalam kutipan tersebut tercantum dengan jelas bunyi tarawangsa. 

Kata Tarawangsa dalam literatur kuna dapat di temukan juga di beberapa naskah, dalam kitab Kidung Adiparwa dengan angka tahun 991 masehi tercatat nama instrument “trewasa” dan dalam kitab Malat disebut “trawasa” dan dalam kitab Bagus Turunan dengan angka tahun 862 masehi disebut “trawangsah”. Ketiga istilah tersebut juga muncul dalam tiga kidung bali yaitu Cupak, Adiparwa dan Malat. dengan demikian, dapat diduga  bahwa instrument tarawangsa terdapat juga di daerah itu pada masa-masa abad tertentu.

Di Jawa Barat sendiri saat ini musik tradisi tarawangsa hanya terdapat di beberapa tempat, yaitu di Cibalong – Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya, Rancakalong Kabupaten Sumedang, Paguyangan kabupaten Bandung dan di Kanekes (baduy) Kabupaten Lebak, Banten. 

Dari keempat daerat tersebut kesenian musik tarawangsa masih di tetap terjaga,  karena kehidupan masyarakatnya yang masih memerlukan dan berkaitan dengan dengan upacara padi.  

Kesenian musik tradisi tarawangsa adalah tradisi musikal yang telah lama ada dalam masyarakat sunda, dimana kesenian ini disajikan dalam konteks upacara ritual penghormatan terhadap Dewi Padi (Dewi Sri Pohaci), sebagai sumber kehidupan manusia. Sementara dalam Waruga Jagat, disebutkan bahwa Batari Pohaci adalah salah satu anak dari Sanghyang Sis (Nabi Sis).

Dalam perkembanganya, tarawangsa tak hanya sebagai musik ritual saja, tetapi tarawangsa juga sering ditampilkan untuk kebutuhan acara lain seperti, pernikahan, acara pemerintahan, kesenian dan lain sebagainya.

Khusus untuk Tarawangsa yang berada di daerah Rancakalong, Sumedang ini memiliki jumlah lagu yang lebih banyak dari kesenian tarawangsa yang ada di daerah lain. Keberadaan Tarawangsa di Rancakalong juga tidak terlepas dari nilai sejarah yang ada didalamnya.

Tarawangsa di Rancakalong menurut cerita rakyat secara turun-temurun asal-usulnya antara lain dimulai pada zaman kekuasaaan Mataram tahun 1550 Masehi ?. 

Sementara Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram di Jawa yang didirikan pada abad ke-16, lebih tepatnya pada 1586 Masehi. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.

Pada pertengahan abad ke 16 Masehi, agama Islam mewarnai perkembangan wilayah Sumedang Larang dengan ibukota yaitu di Kutamaya Padasuka Sumedang. Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau digelari Ratu Pucuk Umun Sumedang adalah putri Raja Sumedanglarang sebelumnya yaitu Ratu Patuwakan atau Ratu Sintawati yang dipersunting oleh Sonda Sanjaya (Sunan Corendra). Ratu Setyasih adalah seorang wanita keturunan raja-raja sumedang larang  yang merupakan seorang Sunda muslimah. Dari pernikahannya dengan Pangeran Santri (Mp. 1505-1579 M) yang juga bergelar Ki Gedeng Sumedang, memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut dan dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru wilayah penjuru di kerajaan Sumedanglarang. Pernikahan Pangeran Santri dan Nyai Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Pangeran Angka Wijaya.

Pada saat itu kehidupan masyarakat di Rancakalong mengalami bencana kelaparan, dikarenakan tanaman padi yang ditanan selalu mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan terus menerus diserang hama. Banyak sekali warga Rancakalong meninggal dunia pada waktu itu, karena bencana kelaparan.

Dengan adanya bencana tersebut masyarkat Rancakalong mencoba untuk menanam tanaman alternatif pengganti padi yaitu tanaman Hanjeli. Namun sayang, setelah tanaman pengganti padi berhasil banyak di produksi, pada suatu ketika menimbulkan malapetaka. Seorang anak terperosok ke dalam tumpukan biji Hanjeli di sebuah tempat penggilingan hingga tewas.
Sejak terjadinya peristiwa naas tersebut, masyarakat berniat kembali menanam padi sebagai makanan pokok. Namun untuk itu masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan benih Padi yang berkualtas baik.

Masyarakat kemudian bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Akhirnya mereka mengirim utusan untuk pergi ke Mataram untuk mendapatkan benih padi. Singkat cerita, para utusan tersebut berhasil mendapatkan benih padi dengan kualitas baik dari Mataram.

Menurut sebuah versi, benih padi yang diambil oleh para utusan itu diperoleh dengan cara mencuri, sehingga untuk membawanya ke Sumedang khususnya Rancakalong, mereka membuat alat musik jentreng dan Tarawangsa untuk menyembunyikan benih padi yang didapat.

Dalam perjalanan pun mereka bertindak seolah-olah sedang mengamen. Dengan menggunakan cara tersebut para utusan dapat berhasil membawa benih padi ke Rancakalong dengan selamat. Dan dengan benih padi yang berhasil dibawa itu masyarakat di Rancakalong kembali bisa menjadikan padi sebagai makanan pokok.

Adapun salah satu cerita lain mengenai asal-usul seni tarawangsa dari hasil wawancara dengan salah seorang tokoh seniman seni tarawangsa di desa Rancakalong  Bapak Dia adalah sebagai berikut :
“Dahulu, Rancakalong termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Suatu ketika kehidupan masyarakat di Rancakalong tengah mengalami bencana, yaitu bencana kelaparan. Hal tersebut dikarenakan tanaman padi yang mereka tanam selalu mengalami gagal panen karena selalu diserang oleh hama. Penduduk Rancakalong saat itu banyak yang meninggal karena bencana kelaparan itu. Sehubungan dengan bencana itu, seorang tokoh masyarakat dari Rancakalong berpendapat bahwa musibah tersebut muncul karena masyarakat Rancakalong tidak mempunyai benih padi yang tahan hama.

Kemudian diutuslah tujuh orang penduduk Rancakalong untuk pergi ke Keraton Kerajaan Mataram dengan maksud meminta benih padi yang tahan hama serta meminta petunjuk tentang bagaimana cara menanam dan memeliharanya. Ketujuh orang utusan tersebut pergi dalam waktu yang cukup lama. 

Setelah berhasil mendapatkan benih padi, utusan-utusan pun kembali pulang ke Rancakalong dengan didampingi oleh seorang utusan dari Kerajaan Mataram yang ahli dalam bidang pertanian yaitu Eyang Wisanagara yang bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat Rancakalong tentang bagaimana cara menanam dan memelihara tanaman padi sehingga hasilnya menjadi lebih baik. 

Karena perjalanan yang mereka tempuh sangatlah jauh dan memakan waktu yang lama, serta melewati daerah-daerah yang mereka anggap kurang aman. Mereka pun berinisiatif untuk membawa benih padi tersebut dengan cara memasukkannya ke dalam alat musik, yaitu tarawangsa dan kacapi. Dalam perjalanannya pun mereka bertindak seolah-olah sedang mengamen. Dengan menggunakan cara tersebut para utusan dapat berhasil membawa benih padi ke daerah Rancakalong dengan selamat”.

Berdasarkan hal di atas, masyarakat Rancakalong kemudian melakukan upacara berupa iring-iringan dan memainkan alat musik dalam setiap upacara ritual setelah panen padi. Hal tersebut mereka anggap sebagai bentuk rasa syukur masyarakat desa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang berlimpah serta sebagai cara untuk mengingat atau mengenang jasa-jasa para leluhur yang telah berhasil membawa benih padi dari kerajaan Mataram ke Rancakalong.

Melihat dari asal-usul lahirnya seni Tarawangsa di Rancakalong, maka seni Tarawangsa ini memiliki fungsi yang sangat berarti seperti :
1. Media rasa syukur atas limpahan rahmat Allah SWT berupa keberhasilan pertanian masyarakat Rancakalong.
2. Media penyambutan Dewi Sri, yang dipercaya sebagai dewi yang memberi kemakmuran kepada masyarakat Rancakalong.
3. Media ungkapan terimakasih dan penghargaan atas jasa-jasa para leluhur yang telah berhasil membawa benih padi dari Mataram ke Rancakalong.
4. Media hiburan untuk masyarakat Rancakalong itu sendiri.
Seni Tarawangsa sendiri merupakan kesenian yang syarat akan nilai-nilai kebudayaan dan historisnya, dimana kesenian ini memiliki keunikan tersendiri. Dimana dalam kesenian ini terkandung juga unsur sakral di dalamnya.

Tarawangsa Rancakalong biasa dilaksanakan khusus untuk pagelaran seni biasanya mengiringi pada "Upacara Adat Ngalaksa". Seni Tarawangsa biasa dipergelarkan pada malam hari mulai pukul 20.00 sampai pukul 04.00 dini hari.

Salam Santun.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama