Jejak Bekas Kerajaan Sumedang Larang


Menelesuri kembali jejak-jejak benang merah putih kerajaan Sumedanglarang, sepenuhnya tergantung pada tinggalan budaya baik itu berupa artefak maupun situs-situs yang ada.  Sumedang bagian dari Tatar Sunda barang tentunya memilki kekayaan budaya yang beragam khususnya berupa peninggal-peninggalan masa lampau.

Keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumedang sudah tercatat dalam berbagai kitab kuno seperti "Carita Parahiyangan" dan "Catatan Bujangga Manik (1473)".  Selain itu mengenai raja-raja Sumedang tercatat pula di kitab Waruga Jagat, Carita Ratu Pakuan, Pustaka Rajya-Rajya I Bhuni Nusantara Parwa III Sarga 2 (1682), Kropak 410 dan Pustaka Nagara Kretabhumi Parwa I Sarga 2 (1694). Dalam Carita Parahiyangan bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Medang Kahiyangan 252 – 290 (+ terletak di antara Kec. Conggeang dan Kec. Buah Dua).

Raja-raja Medang Kahiyangan atau Raja-raja medang Kamulyan pengiring dari Salakanagara merupakan keturunan Raja Salakanagara ke lima dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman (251 – 289) menantu Dewawarman IV, sangat disayangkan catatan sejarah Kerajaan Medang Kahiyangan hampir tidak banyak diceritakan dalam Carita Parahiyangan, sedangkan peninggalan masa Medang Kahiyangan banyak tersebar di sekitar Suku Gunung Tampomas. 


Dalam Versi Sajarah Tarumanagara, di masa Raja ka 3 yaitu, Raja Purnawarman (Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa),  169 - 282 Caka, (395 - 434 M). Wilayah Sumedang termasuk diantara wilayahnya bawahan karajaan Tarumanagara, yang disebut Cupugiri dan Gunung Cupu di Sumedang. 

Kamandalaan yaitu kata benda untuk Mandala yang artinya Tempat Suci (arhat) dan sekaligus daerah yang jadi wilayah bawahan karajaan Tarumanagara, yang mempunyai kawenangan yang khusus dalam bidang keagamaan hinduisme. Sabagian masyarakat di tatar Sunda menyamakan Mandala sama dengan Kabuyutan.

Mandala yaitu tempat suci dan juga tempatt diajar ilmu keagamaan dalam ajaran Jati Sunda dan hinduisme,  yang dipimpin oleh Rsi Guru. Di samping itu ada aktivitas lainnya selain  ilmu keagaamaan, misalnya tata cara bertani dan perniagaan, dan dijaga keamanannya oleh para cantrik atau prajurit pengamanan di Mandala.

Ketika Dharma Satyajaya Warunadewa memerintah di Kerajaan Salakanagara menjadi Raja yang kelima  dalam kurun waktu 129 - 177 Caka (242 - 290 M), putra-putranya 7 orang meninggalkan kerajaan Salakanagara, pergi ke arah timur dari Salakanagara untuk n menyebarkan keyakinan pada waktu itu, serta tinggal di sekitar kaki gunung tampomas, sumedang dan Ganeas yang menjadi  batara guru atau Resi, dan ada juga yang selanjutnya menjadi Pemimpin atau Raja Resi.

Ke Tujuh putranya Dharma Satyajaya Warunadewa, yaitu :
1. Prabu Daniswara (Sumaradira) menjadi Raja Resi di suku Gunung Tampomas, yang mmenyebarkan ajaran hinduisme di sebelah utara wilayah Sumedang waktu itu, termasuk Cimalaka, Conggeang, Buah Dua, Tanjungkerta dan Tanjung Medar, wilayah Sumedang sebelah utara sekarang. 

Makamnya Prabu Daniswara (Sumaradira) ada di blok Ciemutan Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk, Kacamatan Buahdua.

Pusatnya ajaran baktha ke-Hindu-an waktu itu  (252 - 290 M) adanya di Puncak Gunung Cupu Manik Gunung Tampomas. Bukti yang adanya peninggalan arkeologis yang ada di kawasan Gunung Tampomas yang pernah ditelitili oleh N.J. Krom dalam tahun 1914 an juga mencatat adanya punden berundak dari batu-batu banyaknya opat teras, yang melewati tangga dari batu. Di Puncak bangunan berundak ada patung Ganesha, batu bekas tapak kaki dan enam benda lainnya yaitu : Goong kecil dan tempat landasannya (Krom, 1915;65). Dalam ajaran kahinduan Goong kecil dan alat pemukul sering dipakai dalam acara semadi. Gunung dalam papakem masyarakat sunda zaman klasik mempunyai tempat kedudukan tersendiri dalam sistem religinya atau papakem untuk pencerahan. 

Dalam bulan Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro ti Laboratorium Paleoekologi & Radiometri, Bandung (sekarang Balai Arkeologi Bandung) pernah  melakukan penelitian deskriptif peninggalan budaya ajaran dahulu  di Sanghiang Taraje.  Uraian hasil penelitiannya menguraikan bahwa kondisi dan dimensinya bangunan berundak-undak.

Beberapa obyek penting yang dicatatnya nyaitu ada arca menhir dari batuan andesit di teras halamam pertama : batu tatapakan (umpak), batu ajeg (batu yang didirikeun tegak) dan batu kasur nu aya di teras halaman ke tiga (Koestoro, 1987: 38–39).  Di sebelah selatan - timur ada situs Puncak Manik. Di Puncak Manik tersebut obyek arca Ganesha, arca binatang Muka Monyet dan Muka Harimau, serta batu bentuknya tumpeng (Batu Persegi) 

Arca Ganesha yang ada di Cupu Manik Tampomas dibuat dari bahan batuan andesitik. Ganesha digambarkan secara sederhana dina posisi duduk, tangan kiri  dilipat di atas dada, tangan  kanan menopang pinggir belalainya.


Arca binatang lainnya menggambarkeun Harimau dan Monyet. Binatang tersebut digambarkan dalama posisi yang jongkok. kaki belakang  ditekuk dan kaki depanyaa lurus menjolor (Yondri, 1988). 

Adanya patung Ganesha dalam ajaran hindu menggambarkeun pendidikan, Harimau mengambarkan kekuatan. Demikian juga di Cupu Manik Tampomas ada batu Lingga Lingan Persegi empat (Batu Sandung), dibawahnya dipahat corak tengkorak manusa, suatu ciri adaya ajaran kehinduan dalam jaman tersebut,  dalam pemahaman bakhta ke Dewa Siwa.  

Adaya 3 Lingga di Puncak Gunung Agung (Tampomas) di anggap pusatnya kemandalaan dari mandala-mandala lainnya dalam jaman sebelumnya dan juga jaman Salakanagara - Tarumanagara wilayah Sumedang. 

Di tempat lain di lereng gunung Tampomas disebelah timur yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasinya termasuk wilayah Desa Narimbang, Kacamatan Congeang. Di lokasi ini terdapat struktur teras batu yang orientasinya utara - selatan. Panjangnya 6,40 m ketebalannya 40 cm. berdasarkan keterangan dari masyarakat di blok ini ditimukeun tahun 1998 telah ditemukan arca manusia manusia dari batu yang kepalanya  sudah terlepas (potong), posisinya arca mirip dengan manusia tengah bersamadi / mudra, tangannya disilangkan di depan dadanya.  

2. Jaya Sampurna (Jaya Sakti), menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di sebelah Selatan Sumedang, situsnya ada di lingkungan Parigi, Kelurahan Pasanggrahan Baru Kecamatan Sumedang Selatan.

3. Indrasari (Gajah Handaru), menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di sebelah Selatan, situsnya ada di Lingkungan Parigi, Kelurahan Pasanggrahan Baru kecamatan Sumedang Selatan.

4. Lara Sakhti, menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di sebelah Timur Sumedang,  situsnya ada di Cisusuru - Sahang, Desa Ambit Kecamatan Situraja.

5. Sukmana (Rsi Cupu), menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di wilayah Cupu Sumedang, situsnya ada di Gunung Cupu,  Pasarean Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.

6. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten), menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di wilayah Tinur Sumedang, situsnya ada  di Kampung Banas Cibanten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.


7. Sanyak (Sari Hatimah) atau Dalem Tmg. Surabima menyebarkan ajaran kehinduan  di sekitar wilayah medal kamulyan di wilayah Tinur Sumedang, Situsnya ada di Cieunteung Desa Cipamekar Kecamatan Conggeang.

Selanjutnya dalam catatan Bujangga Manik disebutkan pula bahwa sekitar daerah Cipameungpeuk terdapat sebuah Kerajaan bernama Sumedanglarang

Selain terdapat kedua kerajaan tersebut, di sebelah selatan Sumedang pun terdapat kerajaan yang bernama Medang Sasigar pada abad ke-17 yang terletak diantara Bandung dan Parakanmuncang.

Dari semua kerajaaan tersebut Sumedanglarang yang lebih menonjol dalam lintasan sejarah Sumedang, dalam perkembangannya Sumedang membujur dari timur ke barat dari Citembong Agung Girang sampai Regol Wetan. Dari peninggalan tersebut banyak mitoslogi / historiografi tradisional yang berkembang di masyarakat Sumedang.

Awal keberadaan Sumedanglarang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kerajaan Galuh. Setelah Kandiawan atau Rajaresi Dewaraja (597 – 612) Raja Kendan ketiga mengundurkan diri dari tahta Kerajaan Kendan, lalu menjadi Resi di Layuwatang daerah Kuningan. Sebagai penggantinya ia menunjuk puteranya yaitu Wretikandayun yang waktu itu menjadi Rajaresi di Menir.

Wretikandayun (612 – 702) dinobatkan sebagai raja Kendan pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 534 Saka atau 23 Maret 612 M. Ketika dinobatkan Wretikandayun berusia 21 tahun. Setelah dinobatkan sebagai raja Wretikandayun mendirikan Ibukota baru yang diberi nama Galuh (permata) yang terletak diantara dua sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Wretikandayun menikah dengan puteri Resi Makandria yang bernama Manawati setelah menjadi permaisuri bergelar Candraresmi. Dari pernikahan tersebut Wretikandayun mempunyai tiga orang putera, yaitu Sempakwaja (620), Jantaka (622) dan Amara / Mandiminyak (624).

Sempakwaja mempunyai dua orang putera, yaitu Purbasora (643) dan Demunawan (646) yang kelak menurunkan raja-raja kerajaan Sunda, sedangkan Jantaka dikenal sebagai Resiguru di Denuh atau dikenal pula sebagai Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul, mempunyai seorang putera yaitu Aria Bimaraksa yang lahir + tahun 653, yang kemudian jadi Patih Galuh pada masa pemerintahan Prabu Purbasora. Aria Bimaraksa dikenal pula sebagai Ki Balangantrang, setelah pensiun dari Patih Galuh dikenal sebagai Sanghyang Resi Agung yang kemudian menurunkan raja-raja Sumedanglarang, dan putera bungsu Wretikandayun yang bernama Amara / Mandiminyak yang merupakan putera mahkota kerajaan Galuh kelak menurunkan raja-raja di tanah Jawa.


 
Ratu Komalasari (Sunan Pancer) Ibunya Prabu Aji Putih
Cipancar berdiri sekitar abad ke 7-8 M. Salah satu kampung buhun (kampung tua) yang ada di Sumedang karena Cipancar berdiri lebih dulu dari Kota Sumedang.

Pada saat itu Kerajaan Galuh Pakuon yang berlokasi Di Garut di mana sang Raja hendak menurunkan tahta kepada anaknya yang bernama Purbasora terjadilah kudeta (perebutan kekuasaan di antara keluarga). Dari kudeta itu terjadi perang bersaudara yang membuat Purbasora terdesak. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma (Sunan Pameres) dan Ratu Komalasari (Sunan Pancer) disertai Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Galuh yang tengah kacau.


Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Kebetulan pada saat pertama kali Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar,... Cipancar," yang berarti air memancar.

Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi desa Cipancar. Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuon. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat.


Maka dari itu kita mengetahui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan kudeta yang terjadi di Galuh Pakuon. Nama Cipancar sendiri diambil dari perkataan Purbasora yang berarti air memancar.


Ratu Komalasari bin Purbasora bin Sempakwaja bin Wretikendanyun atau Sunan Pancer adalah istrinya Aria Bima Raksa (Resi Agung). 

Beliau adalah Ibunya Raja "Tembong Agung" Prabu Aji Putih, yang menurunkan para raja kerajaan Tembong Agung dan Sumedanglarang. Seperti kata Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy :


Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna

Artinya : Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya

Makam Ratu Komalasari (Eyang Pancer), Ibunya Prabu Aji Putih
Di Pemakaman Umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan

Berdasarkan informasi catatan sejarah Cipancar sewaktu kecil prabu Aji Putih tinggal dulu bersama ibu bapaknya, cuma setelah itu suaminya Aria Bimaraksa (Resi Agung) dan putranya prabu Aji Putih mulai mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas, yang kemudian pindah ke Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja mendirikan padepokan Bagala Asih Panyipuhan, yang akhir menjadi kerajaan pertama "Tembong Agung"

Sedangkan Istrinya Komalasari berada  kakaknya Wira Dikusuma tetap di desa Cipancar di padepokan bermula bersama para pembantu/ponggawanya di tempat ini. Konon daerah yang dipakai pemakaman umum Cipancar sekarang ini dulunya adalah tempat berlatih ilmu kanuragan, dengan bekas-bekas batu tatapakan bekas kaki yang ada di tempat pemakaman ini. 


Dipermana Kusumah atau Sidik Permana Ajar Padang atau Ki Adjar Padang, yaitu ayahanda dari prabu Ciung Wanara yang memerintah kerajaan Galuh, kemudian turun tahta dan beliau menjadi resi (situsnya juga ada di Gunung Padang Darmaraja).

Prabu Ciung Wanara (Raden Suratoma) yang menurunkan para raja kerajaan Pajajaran juga diurus semasa kecil oleh kakeknya Aria Bimaraksa (Balangantrang) dari garis ibunya yaitu Ratu Naganingrum dan juga pamannya Aji Putih bin Raden Bimaraksa (Balangantrang) bin Raden Jantaka (Batara Karang Nunggal) Raja Denuh, adiknya Batara Hyang Semplak Waja Raja / Resi Galunggung di Sumedang.  

Hal ini diperkuat oleh cerita rakyat setempat, buku dan juga  ditemukan beberapa tempat / Situs di daerah Ciseuma dan Pasir Kidul sebelum Gunung Aseupan di Darmaraja kabupaten Sumedang petilasan Prabu Ciung Wanara.

Situs dan Tempat Prabu Ciung Wanara di Pasir Kidul Darmaraja Kabupaten Sumedang
 Sejarah yang ada dalam pantun sebenarnya hanya untuk mengkamuflasekan semasa kecilnya Prabu Ciung Wanara, seandainya tahu prabu Ciung Wanara ada di Sumedang, semasa Galuh ada dalam masa pememeritahan Prabu Tamperan sudah barang tentu dikejar para ponggawanya sampai ke Sumedang.
 
 

Jadi Prabu Tajimalela putra prabu Aji Putih adalah masih terhitung saudara (kakak misannya). Berdasarkan sejarah sewaktu merebut kekuasaan Galuh Prabu Ciung Wanara dibantu oleh Pasukan Prabu Tajimalela dan pasukan dari Limbangan Garut, yang mana Limbangan Garut merupakan keturunan dari Prabu Wijaya Kusuma, kakaknya Ratu Komalasari Ibunya Prabu Aji Putih.

Lihat silsilah dibawah ini Prabu Aji Putih dalam Kerajaan Galuh :







 Kerajaan Tembong Agung

Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun (612 – 702), sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih (696 – 721) .

Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya.

Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan.

Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Ciung Wanara / Manarah dan Ki Balangantrang / Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh kemudian tinggal bersama putranya.

Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M. Pada tahun 696 M, Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kampung Cileuweung Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Situs bekas Padepokan Citembong Girang Desa Ganeas

Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela diperkirakan lahir + tahun 700 M, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka atau Embah Jalul (makam di Astana Gede bersama Prabu Lembu Agung), yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana. 

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.


Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi di Kabuyutan Citembong Girang Kp. Cileuweung Ds. Ganeas Kecamatan Ganeas. 

Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. 

 
Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan :  

Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Allah, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh…. 

(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani….).

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Sanghyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya, yang kini telah ditenggelamkan oleh Waduk Jatigede.
 


Makam Aria Bimaraksa (Resi Agung) Sebelum Tenggelam Oleh Jatigede



Makam Aria Bimaraksa (Resi Agung) Sebelum Tenggelam Oleh Jatigede

Makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan Sebelum Tenggelam Oleh Jatigede

Cikal Bakal Nama Sumedang

Dalam Kropak 410 (abad ke-18) dan Naskah Carita Ratu Pakuan disebutkan bahwa Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demang Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura dan disebutkan pula bahwa Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) penguasa di Kawali dan Suryadewata ayahanda Batara Gunung Bitung di daerah Majalengka? Dalam buku Sejarah Sumedang (Kitab Pancakaki) karya R.A.A. Soerialaga (Dalem Talun) bahwa Prabu Tajimalela dengan Ratu Galuh (Berham) / Prabu Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah saudara misan. Sedangkan berdasarkan historiografi tradisional yang berkembang di masyarakat Sumedang bahwa Tajimalela bertahta pada tahun (721 – 778) atau sejajar dengan Prabu Sanjaya (723 – 732) penguasa Galuh yang kemudian penurunankan raja-raja di Jawa.

Ketika Prabu Tajimalela menjadi raja, usia Sanghyang Resi Agung alias Aria Bimaraksa + 68 tahun dan Prabu Guru Haji Aji Putih berusia 46 tahun. Tradisi waktu itu menjadi seorang raja harus berusia diantara 21 s.d. 23 tahun. Munculnya berbagai versi mengenai Tajimalela karena kurangnya data otentik mengenai masa kerajaan Sumedanglarang khususnya masa sebelum Geusan Ulun bertahta, hanya pada masa Prabu Pagulingan pernah tercatat dalam Catatan Bujangga Manik (1473) dan naskah Carita Ratu Pakuan yang waktu itu berkedudukan di Ciguling dan masa Prabu Geusan Ulun tercatat dalam Pustaka Nagara Kretabhumi (1694). Sedangkan masa sebelumnya hanya berupa historiografi , mitos dan babad yang ditulis sesudah masa Prabu Geusan Ulun. Seperti yang diceritakan dalam Kitab Waruga Jagat (1656) yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, hanya sedikit menceritakan mengenai Sumedanglarang.

Berdasarkan Historiografi Tradisional dan Babad Sumedang, setelah Prabu Guru Haji Aji Putih menyerahkan kerajaan Tembong Agung ke putranya Batara Tuntang Buana, oleh Batara Tuntang Buana nama kerajaan Tembong Agung diganti menjadi Hibar Buana yang berarti menerangi alam. Ketika Batara Tuntang Buana, berkelana mencari tempat untuk untuk mempelajari “elmu Kasumedangan” yang terdiri dari 33 pasal dalam pencariannya Batara Tuntang Buana melewati beberapa tempat seperti Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainnya, yang akhirnya sampailah di Gunung Mandala Sakti, Batara Tuntang Buana segera memperdalam elmu Kasumedangan hingga gunung Mandala Sakti terbelah dan Batara Tuntang Buana mampu membalut (menyimpay) kembali gunung tersebut sehingga gunung tersebut dikenal sebagai Gunung Simpay.

Dan ketika Batara Tuntang Buana sedang bertapa terjadi fenomena alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga ia berkata “ Ingsun Medal Ingsun Madangan” (Ingsun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang.

Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon (Litsia Chinensis) sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.

Setelah selesai bertapa Batara Tuntang Buana segera turun gunung dan menggantinya namanya menjadi Prabu Tajimalela (Taji =  aji, kaji supaya tajam, Malela = Gulungan Selendang Yang Bercahaya) dikenal pula sebagai Prabu Agung Resi Cakrabuana dan Kerajaan Hibar Buana diganti menjadi Sumedanglarang, kata Sumedanglarang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas tidak ada tandingnya” (Su = bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).


Prabu Tajimalela

Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang dan merupakan raja pertama Kerajaan Sumedanglarang (721 – 778) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. 


Setelah wafat Prabu Tajimalela dimakamkan di puncak Kabuyutan Gunung Lingga terletak di Desa Cimarga Kecamatan Cisitu Sumedang. Situs Gunung Lingga berbentuk bangunan teras berundak terdiri dari beberapa teras yang tersusun dari batu. Pada teras teratas terdapat batu “Lingga” dengan tinggi + 1.5 Cm yang dipercaya sebagai makam Prabu Tajimalela. 

Makam/Situs Prabu Tajimalela diphoto Saat Berziarah Di Gunung Lingga Sumedang

Kemunculan Sumedanglarang sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga. Dirintis oleh tokoh Praburesi, tumbuh otonom tetapi yuridis berada dibawah Galuh.

Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedanglarang adalah Lembu Agung (778 – 893) kemudian digantikan oleh Gajah Agung.



Prabu Gajah Agung

Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja.  Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke puncak Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).

Tempat Bertapanya Prabu lembu Agung dan Gajah Agung
Gunung Nurmala atau Gunung Sangkan Jaya Ketika Akan Menjadi Raja

Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Ketika ujian berlangsung Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Gajah agung seorang diri, panas sinar matahari membuat Prabu Gajah Agung sangat kehausan, karena tak kuat menahan rasa dahaga kemudian ia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Sumedanglarang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara (Darma Ngarajaan) yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Sehingga daerah bekas Prabu Lembu Agung disebut Darmaraja. 

Setelah itu Kerajaan Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi dan membangun sarana keagamaan Mandala Kawikan disebut Karang Kawikan sebagai sarana ritual gaib di kabuyutan Cipaku.

Selain itu juga mendirikan beberapa padepokan di Gunung Rengganis, Gunung Cakrabuana, Gunung Tampomas dan Gunung Jagat. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. 


Sedangkan Sunan Geusan Ulun putera ketiga Prabu Tajimalela dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Setelah wafat Prabu Lembu Agung dimakamkan di Astana Gede terletak di Kampung Astana Gede Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang, tidak jauh dari Situs Cipeueut makam Prabu Guru Haji Aji Putih. 

Makam Prabu Lembu Agung Astana Gede Cipaku

Akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998) sebagai raja Sumedanglarang ketiga, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan. Setelah Prabu Gajah Agung menerima keputusan dari ayahnya sebagai raja Sumedanglarang dan diperintahkan untuk mencari tempat sendiri untuk mendirikan Ibukota baru Sumedanglarang.

Benteng bekas Ibu Kota Sumedang Larang di Geger Sunten
Di Desa Ciguling Pada Masa Prabu Gajah Agung 

Setelah beberapa lama berjalan ke arah barat menyusuri sungai Cipeles sampailah Prabu Gajah Agung di daerah Geger Sunten (sekarang dikenal sebagai kampung Ciguling), daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon Ki Menyan dan terdapat sebuah batu besar yang berdiri (nangtung).


Prabu Gajah Agung setelah turun dari keprabonan konon beliau kembali ke Darmaraja dan beliua dimakamkan  di Dusun Cicanting RT 04 / 03 Desa Cisurat Kecamatan Wado.

Makam Prabu Gajah Agung di Dusun Cicanting RT 04/03
Desa Cisurat Kecamatan Wado

Prabu Pagulingan


Ciguling merupakan bekas Ibukota Sumedanglarang terlama sejak masa pemerintahan Prabu Gajah Agung tahun 893 sampai masa pemerintahan Nyi Mas Patuakan tahun 1530, mulai dari Dsn. Ciguling 1 Kelurahan Pasanggrahan sampai terbentang sampai bukit Geger Hanjuang di Dsn. Ciguling 2 Desa Margalaksana. Bentuk Situs Ciguling merupakan teras berundak pada teras paling bawah terdapat Sungai Cipeles dan jalan raya Sumedang dan Bandung, pada teras kedua terdapat permukiman warga dan teras teratas terdapat bentang alam batu Cadas Gantung Geger Sunten Ciguling.

Setelah Prabu Gajah Agung wafat digantikan putranya bernama Wirajaya  dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114) kemudian menjadi raja Sumedanglarang ke-empat.

Pusat pemerintahan Prabu Pagulingan berkedudukan di Ciguling dalam Carita Ratu Pakuan disebut Dayeuh Pagulingan. Pada masa itu bala tentara Prabu Pagulingan terkenal tangguh dalam bertempur, daerah Ciguling yang dikelilingi oleh benteng pertahanan alam yang baik, waktu beberapa gunung seperti bukit Nangtung (sebelah utara Ciguling) dan bukit Pasir Reungit (sebelah timur Ciguling) digunakan sebagai benteng pertahanan.

Tebing Cadas Gantung Geger Sunten digunakan untuk memperhatikan daerah Ciguling sekitarnya termasuk arah kota Sumedang sekarang, bukit Nantung digunakan oleh para Gulang-gulang (senapati) Prabu Pagulingan sebagai pusat (base camp) prajurit Sumedanglarang dan Pasir Reungit (batu Nantung) digunakan sebagai tempat peristirahatan raja-raja Sumedanglarang waktu itu, dalam legenda masyarakat setempat Pasir Reungit disebut juga sebagai tempat Pamoean (tempat berjemur).




Tebing Bentang Alam Cadas Gantung Geger Sunten di Ciguling
Pada masa Prabu Pagulingan kerajaan Sumedanglarang mendapat serangan dari balatentara kerajaan Subang tetapi berhasil ditahan oleh prajurit Sumedanglarang. 

Setelah wafat Prabu Pagulingan dimakamkan di Kampung Ciguling Kec. Sumedang Selatan.

Setelah wafatnya Prabu Pagulingan kedudukannya digantikan oleh putranya Mertalaya atau dikenal sebagai Sunan Guling / Rajamukti Purbakawasa (1114 – 1237) sebagai raja Sumedanglarang kelima.

Pada masa Sunan Guling bangunan Karaton Sumedanglarang dipindahkan ke daerah Geger Hanjuang di Dsn. Ciguling 2 Desa Margalaksana Kecamatan Sumedang Selatan sebelumnya berada di Geger Sunten sedangkan pusat Ibukota masih di daerah Ciguling.



Karaton Sumedanglarang di Geger Hanjuang sampai masa Ratu Nyi Mas Patuakan (1462 – 1530)
Sunan Guling merupakan raja Sumedanglarang terlama memerintah + 123 tahun  dalam masa pemerintahannya banyak peristiwa terjadi salah satunya perebutan kekuasaan di Sunda Pakuan. Sunan Guling di makamkan di Geger Hanjuang. Sunan Guling mempunyai tiga putra : 
1. Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan 
2. Jayadinata 
3. Kusuma Jayadiningrat. 

Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 ) sebagai raja Sumedanglarang yang keenam. 

Situs/Makam Sunan Guling di Geger Hanjuang
Prabu Tirtakusumah / Sunan Tuakan / Sunan Suaka memerintah paling lama antara raja-raja Sumedanglarang kurang lebih 155 tahun, dalam pemerintahannya lebih mengutamakan kepada kepentingan ke dalam (Sumedanglarang) sehingga tidak tampak peran politiknya. 

Pada masa pemerintahan Sunan Tuakan terjadi peristiwa Perang Bubat antara Pajajaran dan Majapahit. Setelah wafat Sunan Tuakan dimakamkan di makam Kampung Heubeul Isuk Desa Cimarias Kecamatan Pamulihan Sumedang, pada kompleks makam Heubeul Isuk terdapat pula makam Prabu Mundingwangi, makam istri Sunan Tuakan dan makam puterinya Ratu Nyi Mas Patuakan ratu Sumedanglarang ketujuh.

Makam Prabu Tirta Kusuma Heubeul Isuk
Sunan Tuakan memiliki tiga putri, yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 – 1521) Raja Pajajaran yang kelak menurunkan Nyi Mas Cukang Gedeng Waru istri pertama Prabu Geusan Ulun, putri kedua Sunan Tuakan yaitu Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan dan putri ketiga Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya. Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang bernama Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan (1462 – 1530) sebagai raja Sumedanglarang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda atau Batara Sakawayana raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh.

Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri yaitu Ratu Sintawati dari Sumedang dan Ratu Mayangsari puteri Langlang Buana dari Kuningan. Dari pernikahannya dengan Ratu Sintawati mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang bergelar Ratu Pucuk Umun, sedangkan dari Mayangsari memperoleh puteri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung yang kemudian menikah dengan Rangga Mantri yang dikenal sebagai Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga) putera Munding Surya Ageung.

Masa pemerintah Ratu Nyi Mas Patuakan atau Ratu Sintawati Sumedanglarang menjadi bawahan kerajaan Pajajaran dan menjadi benteng pertahanan Sunda Pakuan. Pada masa ini kerajaan Galuh dibagi menjadi dua, Galuh Kawali dikuasai oleh Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan dikuasai oleh Prabu Susuk Tunggal dan pada tahun 1539 agama Islam mulai menyebar di Sumedang. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran / Muhammad, putra dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) keturunan dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah.

Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kelak Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata puteri dari Nyi Mas Patuakan. Setelah Nyi Mas Patuakan wafat digantikan oleh puterinya Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata (1530 – 1578). Pada masa ini pengaruh Islam bergitu kuat menyebar di Sumedang. Putra Pangeran Palakaran yaitu Pangeran Santri datang ke Sumedanglarang untuk menyebarkan agama Islam melanjutkan tugas ayahnya. Pangeran Santri dalam penyebaran Agama Islam mengenalkan Seni Gembyung sebagai media dalam mensyiarkan agama Islam. Pangeran Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan budaya sehingga tradisi adat istiadat masyarakat tetap berjalan tanpa menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya.

Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata setelah menikah bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578), yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530) Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati dan Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya.

Batu Tajug Keraton di Kutamaya
Kecamatan Sumedang Selatan
 
Makam Pangeran Santri (Raden Sholih bin Maulana Muhammad) dan Ratu Pucuk Umun
di Pasarean Gede Kecamatan Sumedang Selatan

Pangeran Angkawijaya/Prabu Geusan Ulun
Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, dikaruniai enam putera, yaitu :

1. Raden Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
2. Kyai Rangga Haji.
3. Kyai Demang Watang.
4. Santowan Wirakusumah (Dalem Pagaden – Subang)
5. Santowan Cikeruh.
6. Santowan Awi Luar.

Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk Sumedang. Melemahnya Pajajaran akibat serangan Banten beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten dan kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang, maka berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi, tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan.


Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa,   dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371), Mahkota tersebut kemudian di serahkan kepada penguasa Sumedanglarang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan.

Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya.

Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian dari Jawa Barat.


Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.


Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi”.Seperti diberitakan dalam Pustaka Nusantara III/1 (h.219) dan Pustaka Kertabhumi 1/2 (h.68) “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadacai cuklapaksa wesakhamasa sahasra limangantus punjul siki ikang cakakala”.

Ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Cirebon. Pajajaran Burak, dalam penyerangan tersebut tentara Banten hanya mendapatkan keadaan keraton pakuan yang kosong telah ditinggalkan oleh penghuninya dan tentara Banten hanya membawa batu penobatan raja-raja Sunda Sriman Sriwacana ke Istana Surasowan Banten kemudian digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja Banten, batu ini dikenal sebagai Watu Gilang. Dengan dibawanya batu tersebut dari Pajajaran menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan dari Pajajaran ke tangan Banten tetapi kenyataannya atas kekuasaan wilayah Pajajaran berada di tangan Sumedanglarang.

Pangeran Santri wafat pada tanggal 10 bagian gelap bulan Asuji tahun 1501 saka (2 Oktober 1579) dan dimakamkan di Pasarean Gede kelurahan Kota Kulon Sumedang dan setelah wafat Ratu Pucuk Umun dimakamkan disamping makam suaminya.


Kisah Hanjuang di Kutamaya

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu (Pangeran Girilaya) penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik.

Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton – Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.

Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.

Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.

Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang Prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedanglarang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai.
 



Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedanglarang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.
 
Makam Pangeran Geusan Ulun di Dayeuh Luhur Desa Ganeas

Jaya Perkosa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah menanyakan kenapa Sang Prabu meninggalkannya tanpa melihat pohon hanjuang dulu, setelah mendengar penjelasan dari Prabu Geusan Ulun bahwa pindahnya Ibukota atas anjuran Nangganan maka Djaya perkosa marah kepada Nangganan karena merasa di khianati oleh saudaranya bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada Prabu Geusan Ulun. Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih diberikan ke Cirebon. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya.


Batu Tongkat Jaya Perkosa di Dayeuh Luhur

Sebelum menikah dengan Harisbaya, Prabu Geusan Ulun sudah mempunyai seorang istri yaitu Nyi Mas Gedeng Waru puteri Sunan Pada dari Sindangkasih, dari istri pertamanya ini memiliki 14 anak, yaitu :
1. Pangeran Rangga Gede.
2. Aria Wiraraja (Wiraraja 1)
3. Kiai Rangga Gede.
4. Kiai Patrakelasa.
5. Ngabehi Watang.
6. Arya Rangga Pati Haur Kuning.
7. Nyi Demang Cipaku.
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda.
9. Nyi Mas Rangga Wiratama.
10. Rangga Nitinagara.
11. Nyi Mas Rangga Pamande.
12. Nyi Mas Dipati Ukur.

Dan istri kedua Prabu Geusan Ulun yaitu Ratu Harisbaya dikaruniai putra yaitu :
13. Aria Soeriadiwangsa.
14. Tumenggung Tegalkalong.

Dari istri ketiga Prabu Geusan Ulun yaitu Nyiman Pasarean dikarunai putra, yaitu :
15. Kiayai Demang Cipaku.

Menurut keterangan Naskah Wangsakerta mencatat bahwa, Aria Soeriadiwangsa merupakan anak tiri Prabu Geusan Ulun, atau putera dari Pangeran Girilaya Cirebon karena waktu Harisbaya diboyong ke Sumedang dalam keadaan hamil 2 bulan. Setelah Prabu Geusan Ulun wafat di makamkan di Dayeuh Luhur, selain itu terdapat pula makam Ratu Harisbaya.

Namun bila ditelaah dari naskah sejarah Sumedang tidak diceritakan bahwa Rd. Aria Soeriadiwangsa adalah sebagai anak tiri Prabu Geusan Ulun, seperti yang diceritakan dalam “Sasakala Ciguling, Kutamaya dan Darangdan” ini :

Tempat tilas Ibukota Sumedanglarang anu ngawitan diadegkeun ku Prabu Gajah Agung, teras tumeras dilinggihan ku seuweu putuna Prabu Gajah Agung, dugi ka Ratu Pucuk Umum putra Nyimas Ratu Patuakan (Ratu Rendra Kasih) ti Sunan Corendra (Santa Jaya / Sonda Sonjaya), putrana Prabu Munding Sari Ageung (Jaka Puspa) sareng Mayang Karuna.  Saparantos Ratu Pucuk Umun ditikah ku Pangeran Santri eta Nagara dihijikeun, leungit Ciguling timbul Kutamaya.

Kutamaya hiji tempat tilas Ibukota Sumedanglarang, Ratu di Kutamaya sateuacana Pangeran Santri eyang ti pihak ibuna anu jenenganna Prabu Lingga Wastu, putra Prabu Lingga Hyang raka Pajajaran. (tinggal penjelasan di handap ieu : 
Dina jaman Pangeran Pangeran Geusan Ulun, anu jadi Ratu di Kutamaya aya kajadian peperangan antara Sumedanglarang sareng Cirebon anu jadi lantaran prameswari Pangeran Girilaya Ratu Cirebon keukeuh hoyong ngiring ka Sumedanglarang, margi emut bae ka Pangeran Geusan Ulun. Ku alpukahna Jaya Perkosa eta prameswari anu jenenganna Ratu Harisbaya dicandak atanapi teu dicandak oge ka Sumedanglarang, tetep cumarita lantaran prameswari upami teu dicandak bade nelasan anjeun, nya ku Jaya Perkosa dicandak ka Sumedanglarang.

Dina satutasna dicandak Prameswari Harisbaya ka Sumedanglarang, tempat tilas Pasar, DARANGDAN hiji tempat tilas pasar, nembe darangdan bade masar (maksudna beberes bade muka pasar), aya beja yen utusan Cirebon geus aya di daerah Sumedanglarang, anu ayeuna dinamian Godang (Katerangan : Godang kalebet Desa Cibugel Kecamatan Cibugel). 

Jaya Perkosa disarengan ku tilu senapati anu jenenganna Pancar Buana (Terong Peot), Dipati Wirajaya (Nangganan) sareng Kondang Hapa majeng bade ngayoman pasukan Cirebon anu geus dating ka daerah wawates sumedanglarang, Jaya Perkosa sateuacanna jengkar melak heula tangkal HANJUANG kanggo panagyaan dimana lampah eta hanuang, anjeuna pangperangan pada eta HANJUANG heunteu lempeh (layu), malah dugi ka kiwari masih aya ditilasna juru Alun-alun baheula di sisi walungan Cipeles.


Sumber Bahan Pustaka

- Blog Museum Prabu Geusan Ulun "Yayasan Pangeran Geusan Ulun" (YPS)
- Layang Darmaraja
- Nyukcrug Galur Sumedang
- dll
 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama