Perebutan Tahta di Kerajaan Galuh Semasa Prabu Purbasora Hingga Masa Prabu Ciung Wanara



Kerajaan Galuh adalah kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cisarayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.

Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.

Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. 

Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan pada tanggal tanggal 14 suklapaksa Caitra-6-534  Caka atau 23 maret 612 M, dengan gelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa. Setelah naik tahta Rajaresi Wretikandayun memindahkan ibukota kerajaan dari Kendan ke tempat yang baru yang diberi nama Galuh. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Sang Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Dewi Manawati atau Candraresmi, dalam Naskah Carita Parahyangan disebut “Pwah Bungatak Mangalengale”. Ia puteri dari Resi Makandria (pendeta Hindu). Konon, Resi Makandria (Markandria) adalah sosok penyebar agama Hindu juga di pulau Bali (Goh Nusa). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai beberapa orang anak, antara lain :
  1. Sempakwaja, lahir tahun 620 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Galunggung.
  2. Jantaka, lahir tahun 622 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Denuh.
  3. Jalantara atau Amara atau Mandiminyak, lahir tahun 624.
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Jalantara alias Amara alias  Mandiminyak sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya, yaitu Sempakwaja tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong. Menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani, begitu juga dengan anak keduanya, Jantaka yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakanya yang menjadi rajaresi (taat pada agama), Jalantara atau amara atau Mandiminyak kurang taat beragama dan cenderung berperilaku ‘liar’.

Mandiminyak terlibat smarakarya atau skandal asamara dengan Pwahaci Rababu (Pohaci Rababu) yang merupakan kakak iparnya. Pwahaci Rababu adalah istri Sempak Waja, kakaknya Mandiminyak. Akibat skandal Mandiminyak dengan Pwahaci Rababu ini, lahir seorang anak yang bernama Sena atau Bratasenawa. Sementara itu Sempak Waja dan Pwahaci Rababu juga menurunkan anak yang bernama Purbasora.

Untuk menghindari gonjang-ganjing kerajaan, Mandiminyak dinikahkan dengan Dewi Parwati dari Kerajaan Kalingga dan menurunkan anak bernama Sannaha. Kelak, Sena dan Sannaha yang keduanya anak dari Mandiminyak beda Ibu dinikahkan dan menghasilkan nak bernama Sanjaya.

Mandiminyak kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 M, sebagai Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (Jawa Barat).

Dalam posisinya yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Dari perkawinan Sanjaya-Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan Tamperan Barmawijaya (704-739 M).

Sempakwaja menjadi Resiguru di Galunggung dan diberi gelar Batara Danghiyang Guru. Ia menikah dengan Pohaci Rababu, ia berputra :
  1. Rahiyang Purbasura, lahir 565 Caka (670 M)
  2. Rahiyang Demunawan, Sang Seuweukarma, lahir 568 C (673 M)
Pada tahun 709 M di Kerajaan Galuh, Rahyang Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Senna, anaknya dari Pohaci Rababu. Bratasenawa atau lebih dikenal sebagai Senna, menjadi Raja Galuh ketiga. Ia merupakan anak dari hubungan gelap antara Mandiminyak dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.

Sikap yang dimiliki Senna berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya terkenal liar. Senna merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh, mengingat Senna adalah anak hasil dari hubungan gelap. Banyak orang yang membenci keberadaan Senna sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat membenci Senna. Dua orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. 

Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari Senna. Kedua orang itu sangat membenci Senna dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada “anak hasil skandal ibunya” tersebut. Karena asal-usul Senna yang kurang baik itulah yang membuat Purbasora menginginkan merebut tahta Galuh. Oleh karena pengangkatan Senna sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Senna. Senna pun lalu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. 

Namun Purbasora mengetahui rencana itu, Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) dibantu Pasukan Indraprahasta Kuningan yang dipimpin oleh  Prabu Wiratara (743–747 M), adik ipar dari isterinya Purbasora dan Citra Kirana,  lalu menyerbu istana Galuh sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh. Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M. Dalam situasi yang kalut seperti itu, Senna berhasil meloloskan diri ke Gunung Merapi Jawa Tengah, di mana ibunya, Dewi Parwati menjadi raja di Kalingga Utara (Bumi Mataram). Dari perkawinan Manu Sang Senna  dengan Sannaha mempunyai anak Rakean Jamri atau Sanjaya.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Aria Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya, melahirkan :
  1. Aji Putih 
  2. Darma Kusuma
  3. Asta Jiwa
  4. Usoro
  5. Siti Putih
  6. Sekar Kencana atau Lenggang Kencana, yang kelak dinikah oleh Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora.
Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa.



Tahun 716, Prabu Purbasora naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73–80 tahun, (716 – 723 Masehi) Raja Galuh ke 4, bersama permaisuri yang bernama Citra Kirana, dengan gelar Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna.

Sanjaya putra Bratasenawa (Sang Senna) dan Sanaha menaruh dendam kepada Purbasora, karena dulu telah merebut tahta Kerajaan Galuh dan mengusir Sena, ayahnya. Dendam ini diwujudkan dengan merencanakan perebutan Galuh kembali dengan membunuh Purbasora. 

Mula-mula Sanjaya pergi ke Denuh (sekarang di Tasikmalaya Selatan) untuk menemui Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul yaitu pamannya Rahyang Jantaka. Maksudnya ialah agar Wanayasa bersedia membantu menggulingkan Purbasora dan diganti oleh Aria Bimaraksa atau Balangantrang, putra sulung Resiguru Wanayasa. Tapi ia menolak. Ia memilih bersikap netral. Lalu Sanjaya menemui Tohaan di Sunda dan dijadikan menantu namun kemudian ditinggalkannya.

Setelah itu Sanjaya berangkat ke Rabuyut Sawal dengan maksud yang sama dan meminta Kitab strategi peperangan Balad Seribu. Setelah mendapat ijin, maka gunung Sawal dijadikan markas tentara untuk menyerang Galuh.

Pada tahun 723 Masehi Sanjaya yang kini mempunyai kekuasaan besar itu bersiap menyerbu Galuh yang dianggap telah merebut kekuasaan ayahnya, Senna. Persiapan itu dilakukan Sanjaya di Gunung Sawal sekitar 17 km dari Galuh.

Dengan angkatan bersenjata yang terlatih, maka pada tengah malam, angkatan bersenjata Sanjaya berhasil masuk ke keraton Galuh dan Prabu Purbasora tewas pada tahun 645 Caka (747 Masehi). Dalam penyerbuan itu seluruh pasukan keraton Galuh gugur, sedangkan Patih Bimaraksa beserta keluarga Purbasora berhasil meloloskan diri ke dalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa, Patih Bimaraksa beserta keluarga Purbasora melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya, Gunung Nurmala dan berakhir di dukuh Cipancar. Di sanalah Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma isterinya Dewi Komalasari putranya Prabu Purbasora mendirikan padukuhan Cipancar.

Setelah Galuh ditaklukkan, Sanjaya menumpas pendukung Purbasora. Terutama kerajaan Indraprahasta Kuningan, yang turut membantu Purbasora waktu merebut kekuasaan Galuh dari Sena. Indraprahasta yang didirikan sejak jaman Tarumanagara, ahirnya diratakan dengan tanah oleh Sanjaya 645 Caka (747 Masehi), seolah tidak pernah ada kerajaan disitu ”Indraprahasta sirna ing bhumi”.

Setelah Prabu Purbasora wafat Sanjaya naik tahta di Kerajaan Galuh dengan permaisuri Sekar Kancana yang bergelar Teja Kancana Ayu Purnawangi (cucu Prabu Tarusbawa dari anaknya Mayangsari). Prabu Sanjaya bergelar Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Sejak saat itu Prabu Sanjaya menjadi Raja Sunda dan Raja Galuh dan tinggal di Pakuan, Ibukota kerajaan Sunda.

Karena menguasai Galuh itulah maka kini Sanjaya secara otomatis berhasil menyatukan Kalingga, Sunda dan Galuh. Namun situasi politik pasca perebutan kekuasaan masih belum kondusif. Berdasarkan permufakatan dengan para sesepuh Galuh yang masih hidup untuk mencari solusi damai.

Sanjaya ditetapkan untuk tidak memerintah di Kerajaan Galuh secara langsung. Sanjaya menyetujui usul Sempakwaja Batara Danghyang Guru yang mengangkat Premana Dikusuma anak Wijaya Kusuma dan cucu Purbasora, sebagai Raja Galuh yang berpusat di Ciduging Darmaraja. Premana Dikusuma, suka bertapa dengan gelar Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala,  lalu menikah dengan Dewi Pangrenyep (704 -739 M), anak patih Anggada, Patih dari Kerajaan Sunda. Dewi Pangrenyep ini adalah isteri kedua Premana Dikusuma. 
Sedangkan isteri pertamanya bernama Dewi Naganingrum (cucu Balagantrang yang lahir 698 Masehi) yang darinya pada tahun 718 M dilahirkan Sang Manarah.

Karena tidak langsung memerintah di Galuh, Sanjaya menempatkan anaknya, Tamperan Barmawijaya (704 M-739 M), sebagai duta di negeri itu. Pada tahun 723 Masehi itu pula Demunawan, adik Purbasora, dinobatkan menjadi Raja Saung Galah di Kuningan.

Dengan adanya pengaturan seperti itu, diharapkan korban jiwa itu telah selesai, sehingga kehidupan negara menjadi tentram dan damai. Namun ternyata tidak demikian. Kedamaian hanya berlangsung dalam bilangan bulan saja. Pada tahun 723 M itu pula terjadi skandal cinta antara Dewi Pangrenyep (isteri kedua Permana Dikusuma) dengan Tamperan Barmawijaya (anak Sanjaya) yang disebut juga Raja Bondan. Sebagai hasil smarakarya (skandal asmara) yang gelap ini maka pada tahun 724 lahirlah Kamarasa atau Rahyang Banga.

Karena skandal itu, negeri Galuh geger kembali. Untuk meredam keributan, Sanjaya lalu mengungsikan Tamperan Barmawijaya untuk sementara ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda. Usaha tersebut ternyata berhasil karena untuk kurun waktu yang cukup lama negeri Galuh menjadi aman.

Selanjutnya pada tahun 731 Sanjaya kembali ke Kalingga karena mendapat kabar bahwa ayahnya, Senna, akan turun tahta. Tahun itu pula Sanjaya mendapat kepastian bahwa Permana Dikusuma atau Begawan Sajala-jala (Resi Gunung Padang)  tetap ingin tinggal di pertapaan.

Tahun 732 Masehi Senna baru benar-benar turun tahta. Kedudukan Senna di Kalingga diganti oleh Sanjaya sedangkan Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) menggantikan Sanjaya di Jawa Barat dengan mengambil kedudukan di Galuh Bondan atau Bojong Galuh (Karang Kamulyan di Kawali). Sejak Sanjaya naik tahta, nama Kerajaan disebut Medhang Bhumi Mataram. Dengan demikian Tamperan pada usia 28 tahun telah menjadi penguasa Sunda-Galuh, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat ditambah bagian barat Jawa Tengah (sekarang ini).

Saat menjadi penguasa Sunda-Galuh, Tamperan Barmawijaya belum mempunyai permaisuri walaupun sudah mempunyai anak berusia 9 tahun hasil selingkuhnya dengan Dewi Pangrenyep. Sebenarnya ia ingin menjadikan Dewi Pangrenyep sebagai permaisuri namun adat atau hukum yang berlaku tidak mengizinkannya. Itu terjadi karena Pangrenyep masih berstatus sebagai isteri Premana Dikusuma.

Menghadapi situasi yang dianggapnya rumit ini, rupanya gejolak asmara menumpulkan akal. Tamperan Barmawijaya tidak mau lagi berpikir pusing. Ia menyelesaikan persoalan ini dengan cara menyuruh seorang prajurit kepercayaannya untuk membunuh Premana Dikusuma (Ajar Sukaresi). Sang prajurit pergi seorang diri dengan cara rahasia dan berhasil menunaikan perintah rajanya. Dengan lega prajurit keluar dari pertapaan, namun ia terkejut saat dihadang pasukan pengawal, ia dibinasakan oleh pengawal Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan). Ini konspirasi tingkat tinggi di masa itu.

Setelah Premana Dikusuma tewas, sekitar tahun 732 Masehi, Tamperan lantas memperisteri Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum sekaligus. Dewi Pangrenyep menjadi permaisuri sedangkan Dewi Naganingrum menjadi selir. Teknisnya dilakukan dengan cara rapi. Berita terbunuhnya Premana Dikusuma cepat tersebar di keraton Galuh, karena sengaja disebarkan. Dan dikatakan bahwa pembunuhnya telah ditangkap dan diadili oleh Tamperan Barmawijaya (Bondan), dengan demikian ia berjasa atas keraton Galuh. Karena jasanya itu, Tamperan Barmawijaya (Bondan) berhasil memperistri Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep juga berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh.

Manarah atau Ciung Wanara, anak Premana Dikusuma dengan Dewi Naganingrum yang saat itu berusia bayi hingga 14 tahun, diperlakukan sebagai anak oleh Ki Balagantrang atau Aria Bimaraksa dan Ni Balagratang atau Dewi Komalasari, karena masih merupakan cicit   (Dalam kisah rakyat, Ciung Wanara dibuang dan dibesar serta di didik oleh Ki Balangantrang). Lalu Aria Bimaraksa dan Dewi Komalasari menyerahkan Ciung Wanara (Raden Jaka) kepada saudaranya Guru Teupa Panday Mpu Anjali  di Kamenteng Darmaraja yang tak lain adalah  Prabu Tambak Wesi, bekas Raja ke 2 Kerajaan Saunggalah, mulai berkuasa tahun 696–747 Caka (797–847 Masehi), yang mengantikan ayahnya Prabu Demunawan Raja Saunggalah ke 1,  oleh karenanya dia dapat mewarisi kepandaian membuat senjata dan dapat menangkap Gajah kepunyaan Raja. Apalagi setelah mengetahui bahwa isterinya Ciung Wanara yaitu Kencana Wangi merupakan cucunya Tambak Wesi, putri dari anaknya yang mengantikan Raja Saunggalah ke 3 pada tahun 747 Caka (847 Masehi), yaitu Prabu Kretamanggala atau Kerta Negara.

Aria Bimaraksa yang pada tahun 723 Masehi lolos dari serbuan Sanjaya telah menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Galuh. Persiapan itu dilakukannya di wilayah Muara Bojong Cipaku atau Muara Leuwihideung Darmaraja yang dikenal "Bagala Asih Panyipuhan" yang masih merupakan wilayah kerajaan Galuh. (dalam manuskrip Cipaku dan Kisah berdirinya Kerajaan Tembong Agung Sumedang)Perlahan-lahan Aria Bimaraksa dan Ciung  Wanara (Manarah) mencari dukungan, dengan merekrut pasukan rakyat jelata biasa. 

Sumber lain menyebutkan bahwa Brata Kusuma (Prabu Tajimalela) putra Prabu Aji Putih atau cucunya Aria Bimaraksa, seumur dengan Ciung Wanara. Mereka sudah dewasa dan pernah bersama, saat Ciung Wanara diasuh oleh Aria Bimaraksa saat menetap di Bagala Asih Panyipuhan. 


Sebelum Ciung Wanara, memegang tampuh kekuasaan di Galuh Bondan Karang kamulyaan menggulingkan kekuasaan Raja Bondan (Tamperan Barmawijaya), didukung oleh pasukan Sumedang Larang ditambah dengan pasukan Cipancar Girang Limbangan yang waktu itu dipimpin oleh Darma Kusuma (Mbah Khotib) putranya Aria Bimaraksa,  untuk menyerbu kerajaan Galuh yang berpusat di Galuh Bondan atau Karang Kamulyan. 
 
Tujuh tahun setelah kematian Permana Dikusuma, yaitu tahun 739 Masehi, Aria Bimaraksa dan Ciung Wanara beserta pasukannya menyerbu Galuh. Pada awal penyerangan pertama sebagian wilayah Galuh Pakuan dapat dikuasai Aria Bimaraksa dan Ciung Wanara, dan pada penyerangan berikutnya kerajaan Galuh Sunda dengan pusat Keratonnya di Galuh Bondan Karang Kamulyan dapat dikuasai Ciung Wanara  dan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep tertangkap dan dipenjarakan. Sementara itu, Banga  anak Tamperan dengan Pangrenyep, tidak ditangkap dan diperlakukan dengan baik oleh Manarah. Bagaimana pun juga Banga adalah saudaranya satu ibu.

Banga atau Hariang Banga yang berusia 15 tahun itu, merasa bimbang.  Apalah arti kebebasan bagi dirinya kalau ayah-ibunya menderita dipenjara sebagi tawanan. Hingga suatu malam Hariang Banga nekat melepaskan kedua orang tuanya, dengan melumpuhkan para penjaga terlebih dahulu. Sang Banga berhasil melepaskan kedua orang tuanya untuk melarikan diri menuju Keraton Bumi Mataram. Namun kejadian ini ketahuan pasukan Prabu Ciung Wanara dan Patih Aria Bimaraksa (Balagantrang).

Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) dan Dewi Pangrenyep lari di kegelapan malam menuju Mataram. Pasukan Prabu Ciung Wanara dan Balagantrang terus mengejar. Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) dan Pangrenyep dihujani anak panah. Akhirnya Raja dan Ratu itu tewas bersimbah darah dalam kegelapan malam jauh dari purasaba Galuh.

Peristiwa kematian Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) akhirnya sampai ke Bumi Mataram, alangkah murkanya Raja Sanjaya mendengar peristiwa tersebut. Dengan mengerahkan angkatan perang yang besar, Raja Sanjaya bergerak dari Medang Bumi Mataram menuju purasaba Galuh. Namun Sang Manarah telah memperhitungkan kemungkinan tersebut dan mengerahkan seluruh pasukan Galuh diperbatasan. Dua keturunan Wretikandayun saling berhadapan, masing-masing mengerahkan angkatan perangnya. Akhirnya gotrayudha (perang saudara) yang sangat dahsyat pecah kembali. Perang berlangsung beberapa hari namun belum menunjukkan ada yang kalah dan menang.

Akhirnya Resiguru Demunawan dengan pengiringnya barisan pendeta turun dari Saunggalah menuju palagan (medan perang) Galuh. Dengan wibawanya yang besar sebagai tokoh tertua Galuh yang masih hidup, Resiguru Demunawan berhasil menghentikan pertempuran sehingga terjadi gencatan senjata. Dalam usia 93 tahun Resiguru Demunawan kelahiran Kabuyutan Gunung Galunggung memimpin perundingan perjanjian antara Sanjaya dan Manarah (Ciung Wanara) di keraton Galuh. Hasilnya adalah kesepakatan berupa pembagian wilayah. 

Hasil perjanjian tersebut :
1. Kerajaan Medhang Galuh dengan dirajai oleh Hariang Banga alias Kamarasa dengan gelar Prabu kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
2. Kerajaan Galuh (Pakuan Pajajaran) di Kawali dirajai oleh Jaka Suratama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, dengan batas negara Sungai, dengan batas masing-masing yaitu Kali Pamali (Cipamali) dan Kali Brebes.

Manarah atau Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya sendiri yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung suami dari Putri Purbasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara, berkuasa dari tahun 783–799 M. Prabu Manarah, pada tahun 783 Masehi, melakukan Manurajasunya Di Puncak Damar Darmaraja Sumedang Larang.

Pasulukan Medal Kamulyaan :
Dedi E Kusmayadi Soerialaga

Daftar Bacaan :
1. Naskah Buk Pakuning Alam Darmaraja.
2. WD. Dharmawan, Buku Rucatan Budaya Darmaraja, Mangsa Ngadegna Karajaan Tembong Agung dan Sumedang Larang.
3. "Naskah Carita Parahyangan", cipakudarmaraja.blogspot.com
4. "Sekilas Kerajaan Indraprahasta", sejarahtatarpasundan.blogspot.com 
5. "Sekilas Sejarah Galuh", sejarahtatarpasundan.blogspot.com 
6. "Sekilas Kerajaan Saunggalah", sejarahtatarpasundan.blogspot.com 
7. Ekajati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Yayasan Cipta Loka Caraka.
8. Noorduyn, J. 2005. Three Old Sundanese poem. KITLV Press.
9. Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419
10. Yoseph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
11. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
12. Tim Penulis Sejarah. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama