Latar Belakang Sejarah Nama Desa Cipancar Kec. Sumedang Selatan


Desa Cipancar dilihat dari aspek historis ternyata mempunyai berbagai kenyataan yang tersembunyi. Karena dari berbagai data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder menyebutkan bahwa daerah Cipancar menyimpan suatu tradisi yang mengakar kuat secara turun temurun. Hal ini ternyata tidak terjadi begitu saja, akan tetapi berasal dari nenek moyang terdahulu. Antara sejarah desa dengan munculnya mitos dan legenda, saling melengkapi. Dan ia memiliki banyak cerita, namun memiliki satu tujuan arti dan makna, yakni mereka sama-sama mengagungkan pada pendiri Desa tersebut.

Desa Cipancar merupakan sebuah dusun tua yang lebih tua dari kabupaten Sumedang sendiri, yang berada di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Lokasinya berada di bagian timur wilayah kecamatan dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Ganeas. Jika dilihat dari pusat Kecamatan Sumedang Selatan, posisinya berada di bagian tenggara. Jarak dengan pusat Kecamatan Sumedang Selatan sekitar sembilan kilometer.

Terkait nama desanya, ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul nama Cipancar. Salah satu sumber menyebutkan Cipancar berasal dari adanya sumber air yang mengalir deras ketika keluarga Purbasora sampai ke wilayah ini di abad ke 6-7 Masehi

Keluarga Purbasora yang meninggalkan Kerajaan Galuh bersama Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma (Sunan Pameret) dan Dewi Komalasari (Sunan Pancer atau Sunan Baeti) disertai Jaksa Wiragati, sampai di wilayah Cipancar. Sesampainya di tempat ini ada air yang memancar sehingga Purbasora spontan berkata "Cipancar,... Cipancar......Cipancar". Dan Sumber mata airnya masih ada sampai sekarang.

Pada masa pemerintahan Purbasora berkuasa yang menjadi maha patihnya adalah Aria Bimarkasa putra sulung Jantaka, kalau dirunut masih merupakan saudara sepupu, karena Jantaka merupakan paman dari Purbasora.

Aria Bimaraksa (Balagantrang) merupakan ayah kandung dari Prabu Guru Aji Putih (Pendiri Kerajaan Tembong Agung). Prabu Guru Aji Putih dapat dikatakan juga cucunya Prabu Purbasora yang naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73–80 tahun, (716 – 723 Masehi) Raja Galuh ke 4, dan permaisuri Citra Kirana, dengan gelar Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna, karena Aria Bimaraksa alias Balagantrang alias Sang Resi Agung beristerikan Dewi Komalasari alias Ratu Pancer Komara alias Sunan Baeti alias Sunan Pancer putri bungsu Prabu Purbasora. Untuk lebih jelasnya lihat silsilah dibawah  :

Pada jaman perebutan kekuasaan di kerajaan Galuh yang mengakibatkan tewasnya Prabu Purbasora, keluarga Purbosora tidak tewas karena dapat meloloskan diri dari keraton Galuh, ketika diserang Sanjaya dan pasukannya. 


Selanjutnya keturunan Prabu Purbasora mendirikan tiga padepokan pada jaman medang kamulyaan di Sumedang, antara lain :
1. Padepokan Galunggung Kamulyaan, dipimpin oleh Batara Sempakwaja dan Jantaka dengan sentralnya di Kabataraan Gunung Galunggung dan di Kabataraan Gunung Syawal, yang kini menjadi makam Cipeuteuy, desa Mekar Asih Kecamatan Malangbong Garut.

2. Padepokan Cipancar Girang, tempat asal kerajaan Kendan dipimpin oleh Prabu Wijaya Kusuma, menjadi makam Cipancar, meliputi makam Pasir Astana, makam Pasir Tanjung. makam Hotib. di Jalan Sunan Cipancar Kecamatan Balubur Limbangan Garut.

3. Padepoka Cipancar Hilir, dipimpin oleh Wiradi Kusuma (Sunan Pameureut) dan Dewi Komalasari, jadi makam Cipancar, di Jalan Pager Betis Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.

Atas persetujuan bersama oleh keturunan Batara Sempak Waja - Jantaka, akhirnya ketiga Padepokan tersebut menjadi satu Padepokan dengan sentralnya di Kerajaan Tembong Agung, oleh sebab Aji Putih dianggap paling cocok dalam sosok kepemimpinannya, karena isteri-isterinya Prabu Wijaya Kusuma dan Wiradi Kusuma adalah adiknya Prabu Aji Putih, karena ditinjau dari segi tingkat derajat dan tahapan, Lihat dibawah ini :










Dalam satu versi yang bersumber dari kuncen Makam Cipancar (Pak Ali Mahmud, 57 th - alm) disebutkan, bahwa kata Cipancar berasal dari cerita rakyat bahwa datang seorang tokoh yang Sunan Pancar Komara atau Sunan Baeti ke daerah Sumedang larang khususnya daerah Cipancar. Proses adaptasi dan penerimaan masyarakat setempat berlangsung ketika diketahui Sunan Pancer memiliki kelebihan. Beliau diakui masyarakat bahwa ia bagaikan seorang dokter yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, baik itu penyakit lahir maupun batin. Dalam melakukan pengobatan, dan yang membuatkan ramuan (meureut) obat  untuk para penderita adalah kakaknya sendiri yaitu Wiradi Kusuma (Sunan Pameureut). makam Dewi Komalasari atau Sunan Pancer Komara atau Sunan Baeti dan kakaknya Wiradi Kusuma (Sunan Pameureut)

Karena kharismatik yang dimiliki Sunan Pancer dan juga keahliannya dalam hal pengobatan, membuat masyarakat setempat secara perlahan menerimanya dengan baik. Setelah kedatangan Sunan Pancer ke Cipancar, banyak sekali jasa-jasanya yang diberikan beliau untuk masyarakat, baik itu dalam hal pengobatan, perlindungan dari penjajah (yang tidak dapat masuk ke daerah Cipancar). Dari jasa-jasanya itu maka masyarakat Cipancar sangat menghormati Sunan Pancer sehingga daerah Cipancar, diambil dari nama Sunan Pancer. 

Arti kata “Ci Pancar” juga mengandung maksud semulanya adalah Pancar Awi, namun secara lahiriah Ci Pancar, Ci berarti air, berarti juga cahaya, Pancar berarti memancar asal mula atau asal mula. Jadi kata Cipancar berarti penyebaran dalam arti Pusat - Induk - Asal Muasal.

Versi lain dari cerita rakyat yang dikatakan oleh Pak Ali Mahmud (alm) seorang keturunan karuhun Cipancar, kata Cipancar berasal dari nama Mbah Sunan Pancer yang pertama kali mengenalkan dan menyebar-luaskan bitit padi kepada seluruh masyarakat Sumedang.  Tempat membagi-bagikan bibit padi itu sekarang diberi nama “Baginda”, sekarang nama desa yang cukup dekat dengan batas desa Cipancar. Jadi banyak persepsi dan cerita mengenai kata Cipancar tersebut.

Munculnya beberapa versi cerita yang mengatas-namakan asal-mula desa Cipancar, mungkin lebih dari satu. 

Namun di Desa Cipancar ini, mereka telah menyepakati tentang kesamaan untuk mempunyai suatu keunikan kepercayaan terhadap keberadaan karuhun mereka yang senantiasa terus mangawasi dan menaunginya. Salah satu parameternya mereka tidak boleh menyebut satu nama hewan yaitu ucing atau kucing. Mereka harus menyebut pada hewan tersebut adalah dengan sebutan “enyeng”.

Bila mereka yang berada di desa tersebut atau salah seorangnya menyebut “ucing”, maka sedesa atau orang tertentu tersebut akan terjadi bencana. Kepercayaan mereka pada kata ucing yang “ampuh” dan “sakral” itu sangat dipegang kuat oleh masyarakat Cipancar, bahkan sampai sekarang.

Sehingga mereka yang berada di desa tersebut sudah menerima sesuatu kenyatan adat dan menjadi kebiasaan dalam dirinya, maka pemahaman dan keyakinan seperti itu agak sukar untuk ditinggalakan, karena berakar kuat dalam pribadi masyarakatnya 


Mitos dan Legenda; Sejarah Tradisi Lisan Cipancar
Tradisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat merupakan nilai dalam masyarakat yang diakui kegunaannya dan berlaku dalam masyarakat. Apabila diamati dengan cermat serta seksama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, tradisi itu erat kaitannya dengan nilai-nilai yang mencerminkan suatu pranata yang meliputi tata cara dan adat kebiasaan akan diupayakan kelestariannya oleh masyarakat penduduknya. Namun dengan adanya perkembangan zaman adat kebiasaan meskipun intinya/isinya tidak berubah seperti apa yang diwariskan oleh para leluhur, tetapi dapat saja bentuknya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan itu dapat terjadi akaibat munculnya nilai-nilai baru yang mempengaruhinya. Itu semua tergantung pada masyarakat, bagaimana tanggapan masyrakat dengan adanya nilai-nilai baru.

Menurut penuturan kuncen setempat yaitu bapak Ali Mahmud, bahwa asal-usul Desa Cipancar itu berawal dari datangnya seorang tokoh yang bernama Mbah dalem Sunan Meuti. Ia datang ke Sumedang, tepatnya ke Desa Cipancar yaitu pada abad ke-19 M sebagai utusan dari kerajaan Mataram untuk menyebarkan Islam. ketika ia datang ke Cipancar, masyarakat Cipancar sudah menganut kepercayaan Purba Djati Sunda (agama karuhun). Ketika Islam datang ke Desa Cipancar respon masyarakat setempat menyambutnya dengan baik. Tetapi mengenai data ini, menurut pak Ali Mahmud belum pasti jadi masih dalam penelitian para kuncen.

Dinamakan Cipancar karena berkaitan dengan tokoh Sunan Dalem Meuti, memiliki berbagai macam kelebihan, salah satunya yaitu ia bisa mengobati penyakit lahir batin serta ia dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Karena kelebihannya itu telah menciptakan suatu kharismatik yang tinggi sehingga masyarakat mengidentikan Sunan Dalam Meuti sebagai pancaran matahari atau akar pancar. Dan mengenai tradisi lisan yang ada di Desa Cipancar masih dipercayai atau diyakini oleh masyarakat Cipancar, hal itu dikarenakan :

1. Tidak bolehnya masyarakat menyebut nama “kucing”, karenanya adanya larangan dari karuhun/ leluhur yang dulunya ia mempunyai nama belakang “ucing”, dan apabila ada seseorang yang tidak menuruti perintah karuhun itu maka akan terjadi peristiwa, maka oleh masyarakat setempat nama kucing itu diganti dengan “ Enyeng”.

2. Oleh masyarakat Cipancar kucing diperlakukan sebagai binatang yang sangat disakralkan. Ini terbukti dengan adanya upacara pemandian kucing, yang dilakukan oleh masyarakat setempat, khusunya apabila terjadi musim kemarau berkepanjangan di desa tersebut. Si Kucing di arak dengan memakai kurung, kemudian oleh masyarakat setempat kucing itu disirami. Tetapi upacara ini sekarang sudah tidak dilakukan lagi. Upacara ini hanya berlangsung sampai generasi ke-14 dan untuk generasi yang sekarang upacara tersebut tidak dilakukan lagi. Mereka nampaknya lebih mendekatkan pada masalah keagamaan , yakni dengan melakukan sholat istisqo.

3. Untuk menghormati karuhun tersebut, maka masyarakat Cipancar tidak berani menyebut nama kucing melainkan enyeng, berdasarkan hasil wawancara yang kami peroleh dikarenakan ada hubungannya dengan seorang leluhur yang terdahulu yaitu Mbah Dalem Prabu Madu Ucing yang memegang ajaran jati sunda, yang di bawa dari kerajaan Padjajaran sebelum di Islamkan oleh Pangeran Santri

Setelah Dalem Prabu Madu Ucing masuk Islam pada tahun 1573 M. kemudian tinggal di daerah Cipancar dan diganti namanya dengan nama Dalem Sutra Ngumbar Tajur. Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Embah Tajur, dan menjadi murid Pangeran Santri dalam mengembangkan konsep-konsep keagamaan Sunda - Cirebon - Demak.

Hal ini karena sebutan nama pertama tidak pantas lagi bagi beliau,  karena merupakan nama seekor hewan—maka sesudah namanya diganti, masyarakat Cipancar tidak boleh lagi atau “cadu” menyebut kata ucing karena merupakan sebuah penghinaan bagi beliau. Dalam kepercayaan mereka, apabila masyarakat Cipancar melanggar hal itu, maka akan terjadi sesuatu yang sifatnya “musibah” secara umum, khusunya bagi yang melanggarnya. Uniknya hal ini berlaku bagi masyarakat pendatang yang sudah diberi tahu akan larangan itu.

Peristiwa yang pernah terjadi bagi masyarakat pendatang yang melanggar hal itu, salah satunya terjadi pada seorang guru SD yang bertugas di daerah Cipancar. Ketika guru tersebut sudah diberitahu oleh masyarakat setempat mengenai larangan itu, namun dia tetap menyebutnya dan tidak mempercayai itu. Maka yang terjadi adalah bahwa alat untuk berbicara mendapat gangguan sehingga tidak dapat dipakai untuk mengucap sebuah kata-kata yang jelas (bengo). Selain itu terdapat peristiwa lain seperti misalnya terjadi hujan yang lebat, tabrakan, dan lain-lain yang memang pernah terjadi akibat dari melanggar ketentuan masyarakat Cipancar.

Ketentuan itu telah diakui oleh seluruh elemen masyarakat Cipancar baik orang tua samapai anak kecil sekalipun, semuanya meyakini bahwa hal itu memang dilarang untuk diucapkan. Bahkan masyarakat Sumedang pun mengakui akan adanya hal itu.

Tersebarnya agama Islam di daerah Sumedang Larang, konon Mbah Dalem Prabu Ucing tertarik dengan ajaran agama Islam tersebut, dan merubah namanya. Kemudian setelah Mbah Dalem Prabu Ucing memerintahkan kepada masyarakat untuk tidak menyebutkan kucing, dan barang siapa yang menyebutkan nama hewan yang dilarang tersebut maka beliau mengeluarkan semacam sumpah (kutukan) : 
Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut maka akan terjadi musibah kepadanya khususnya bagi masyarakat yang ada di sana.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama