Kenangan Dulu Bioskop Pasific Sumedang


Boskop Pasifik milik Aset Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang dulu menjadi kebanggaan warga Sumedang, kini berubah menjadi toko pakaian. Bioskop Pasifik di Sumedang yang didirikan oleh saudagar Kebangsaan Belanda Meneer Boze pada tahun 1928, yang memiliki nilai sejarah. Selain mendirikan Bioskop Pasifik Meneer Boze juga mendirikan Bioskop yang lain di Tatar Pasundan kala itu.

Di masa jaman penjajahan Belanda sistem zonasi Penataan Pusat Kota terlihat sistem pusat pemerintah disentralkan pada kawasan pusat kota (CBD) Sumedang dengan konsep alun-alun kota, yang sering kita lihat ada beberapa kota yang penataan kotanya mirip dengan kota tercinta ini, misalnya pusat kota Demak, dsb. Sementara sebaran fasilitas hiburan dan pertokoan terbangun di sepanjang jalan Arteri Primer Pusat Kota (CBD) ke arah sebelah Utara.

Pada masa pemerintahan dan penjajahan Belanda Dahulu (1915 – 1942), hampir semua bangunan gedung-gedung hiburan memiliki kesamaan bentuk dan rupa di bagian Front depan bangunannya selalu arsitekturnya di design oleh si penjajah pada saat hijrah dari Eropa ke Asia umumnya, dan khususnya ke negeri Nusantara ini yang sebagian besar menggunakan pelayaran kapal laut nan besar. Boleh jadi besar dan kecilnya sebesar atau seluas ruang dan bangunan gedung Bioskop Pasific itu.

Tapi perlu diketahui, gedung "Bioskop Pasific" yang sebelumnya bernama Bioskop "Kutamaya" waktu itu memang hadir dan ada di Kota Kecil, yaitu Kota Kabhupatian Sumedang, yang nota benenya kota kecil yang tidak banyak dihuni oleh para ambtenar Belanda (Walanda). Namun saking besar pengaruh dan dampak sistem komando / perintah pusat (Batavia) atau (Wet op de ruimtelijke ordening / Wro), maka si anember (pelaksana pembangunan Gedung) lokal wilayah Kabupaten Sumedang mengikuti serta mentaati perintah pusat, terlebih zaman dahulu konon katanya perijinan membangun harus mematuhi aturan pemerintahan penjajah. Oleh karena itulah Gedung Bioskop Pasific di design pada bagian muka bagunannya seperti muka dan puncak kapal Pelayaran yang dipadukan dengan bentuk maupun gaya lokal, yaitu bangunan yang ada di bagian belakang muka kapal pelayaran itu. Pengaruh dan gaya arsitek Belanda (Eropa) tersebut memang terus melekat dan kuat sampai kepada masa pasca kemerdekaan RI tahun 1945 – 1965 M. 

Gedung Bioskop Pasifik, kala itu diresmikan oleh Bupati Sumedang Dalem Surya Sumantri. Keberadaan gedung bioskop Pasifik ini, menjadi sarana hiburan bagi warga Sumedang yang paling modern di jamannya.

Bioskop Pasifik ini, kala itu, biasa menampilkan atau memutar film bisu. Pada awal berdirinya, gedung bioskop Pasifik sempat menjadi ketegangan dengan organisasi masyarakat yaitu Serikat Rakyat dan Serikat Hijau. Ketegangan tersebut gara gara Serikat Rakyat ingin menggelar rapat di gedung bioskop Pasifik.

Serikat Rakyat menyerukan kepada anggotanya melarang keras anggotanya untuk menonton di bioskop. Tidak hanya itu, Serikat Rakyat juga melarang kepada masyarakat dan menghalang halangi untuk menonton di Bioskop Pasifik.

Untuk meningkatkan pengunjung, Bioskop Pasifik memberikan diskon kepada Serikat Hijau, lalu Serikat Rakyat juga ingin ada diskon, namun di tolak oleh pihak pengurus bioskop Pasifik. Akhirnya, Serikat Rakyat mengamuk dan menyerang pengelola bioskop Pasifik dan menjaga.

Perkelahian atau keributan tersebut diketahui oleh warga pasar sebrang sungai Cipeles (dulu taman Telor adalah pasar) yang kemudian warga pasar membantu melawan anggota Serikat Rakyat. Kemudian, anggota Serikat Rakyat berjanji tidak akan lagi mengganggu kalau tidak ingin di hukum.

Menginjak pada tahun 1942 ketika penjajah Jepang datang, bioskop Pasifik berubah menjadi tempat pertunjukan seni tradisional Sunda, seperti Wayang Golek, Sandiwara, Jaipong Ketuk Tilu di pentaskan di gedung tersebut. Gedung Bioskop Pasifik lalu berubah nama menjadi Gedung Sakura.

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, Gedung Pasifik berubah fungsi kembali menjadi gedung bioskop sarana pemutaran film yang sama dengan sebelumnya film bisu.


Bioskop Pasifik Sumedang Setelah Kemerdekaan RI
Hanya ada perbedaan, sebelum pemutaran film di tampilkan dulu pagelaran seni Dog Dog, dan nama gedung juga dirubah kembali menjadi Gedung Bioskop Cahaya, lalu berubah nama lagi menjadi gedung bioskop Kutamaya.

Pada tahun 1977, seorang pengusaha daerah yang bernama H Didi Kusnadi mengambil alih pengelolaan gedung bioskop tersebut dan nama gedung dikembalikan lagi ke nama asal yaitu Gedung Bioskop Pasifik dan mulai memutar film film yang sedang ngetrand dengan film tidak bisu lagi film modern, namun, hanya bisa bertahan sampai pada tahun 1990an.

Bertahannya perbioskopan pada tahun 1990 itu karena maraknya film film Cinaplex dan peredaran VCD. Pengunjung yang biasanya ramai semakin berkurang dan akhirnya bioskop Pasifik dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Setelah vakum beberapa tahun, pada tahun 1997 Pemerintah Kabupaten Sumedang sempat mengajukan untuk mengelola kembali gedung bioskop Pasifik ke Pemprov Jabar, namun, tidak ada kejelasan.

Pada tahun 2000 gedung Pasifik di sewa oleh jaringan Ritel Duta Pasar Raya, lalu bangunannya di rombak menjadi toko pakaian dan buku. Setelah selesai sewanya dengan Duta Pasar Raya.

Pada tahun 2011 gedung Pasifik berubah kembali menjadi tempat Karaoke perubahannya bukan hanya fungsi namun ruanganya pun berubah, lantai satu untuk pertunjukan pentas seni Sunda, sementara, lantai dua tempat untuk karaoke dengan nama gedung Pasifik Hariring.

Berbagi sumber menyebutkan salah satu syarat bangunan sebagai Cagar Budaya adalah bangunan tersebut paling tidak berumur 50 tahun.

Berbicara tentang Cagar Budaya tentunya harus menjaga eksistensinya, dijaga Orsinalitasnya serta keberadaan sebuah warisan dari masa lalu untuk masa mendatang agar mengetahui tentang perjalanan sejarah daerah dari masa ke masa Cagar Budaya tersebut.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama