Situs Prabu Siliwangi Di Bukit Badigul Rancamaya, Yang Kini Menjadi Lapangan Golf dan Komplek Rancamaya Bogor

 

Nama Prabu Siliwangi alias Prabu Jaya Dewata terungkap pula dalam naskah primer haksara Sunda dalam lontar "Carita Parahyangan" halaman XIX, yang dibuat oleh para resyi di mana keadaan kerajaan Pajajaran pada waktu itu aman dan tentram, dan diperabukan di Rancamaya, hanya saja para resyi menyayangkan karena Prabu Siliwangi alias Prabu Jayadewata melanggar aturan Siksa Kandang karena beristeri banyak, transkrip naskah :
Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring Rancamaya, lawasniya ratu telupuluhsalapan tahun. Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang lor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.
Artinya :
Diganti oleh Prabu, putra raja asli (maksudnya Prabu Ningrat Kencana alias Prabu Dewa Niskala), yaitu Sang Prabu Jayadéwata, yang meninggal di Rancamaya. Lamanya menjadi Raja tiga puluh sembilan tahun. Oleh sebab dalam menjalankan roda pemerintahan menjalankan  purbatisti purbajati, oleh karena tidak kedatangan musuh dari luar kerajaan dan musuh dari dalam kerajaan. Utara, Selatan, Barat dan Timur, dirasakan negara aman.Tidak merasa aman itu oleh sebab mempunyai isteri diberbagai lapisan masyarkat, disebabkan karena melanggar aturan Sanghiang Siksa. (maksudnya melanggar aturan atau pedoman yang dituangkan dalam Siksa KandaNg Karesyian, oleh Para Resyi)
Jayadewata secara resmi diangkat sebagai raja Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia 81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri SangRatu Dewata .

Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-rata menjadi raja atau penguasa yang menyebar ke seluruhTatar Pasundan.

Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (sepertidalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). 

Melalui bahasa pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar kakeknya yaitu Prabu Wangi alias Prabu Anggalarang alias Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang tertulis pada prasasti-prasasti). 

Pemakaian sebutan Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu (tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa dalam percakapan mereka sehari-hari.

Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara) mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, seperti tulisannya:
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”
Artinya : Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa kejayaannya (kretayuga), dimana sosial ekonomi rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.

Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit kemudian benteng tanah.

Kemudian Sang Maharaja membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.

Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan, kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang dinamakan Lawang Gintung.

Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang Maharaja membuat semacam hutan lindung yang berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk kepentingan upacara kremasi.

Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung (Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai tempat pariwisata dan penyuburan tanah.

Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat “kaputren” (tempat isteri-isteri-nya), “kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada tahun 1518.

Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan dipegang oleh Adipati Pangeran Papak. Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” atau disebut juga desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).

Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif / kerja bakti), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dongdang” (padi 1 gotongan). Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan dewa.

Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan), Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya. Dengan pembagian tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada perang yang tangguh.

Sedangkan untuk pertahananan di dalam kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.

Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang), menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai.

Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja. Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan Pajajaran.

Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur perdagangan sangat ramai. Demak yang terkenal kuat dalam angkatan lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan Portugis. Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara, tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di Nusantara.

Kerjasama ini dilakukan bukan maksud menggalang kekuatan untuk menyerang Demak, melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.

Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).

Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta ingin menjalin hubungan dagang.

Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly governed” (Kerajaan Sunda - Pajajaran diperintah dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap penjajakan.

Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang pada zaman itu seakan teringat kembali kepada kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana)
 .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”
Artinya : Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama.
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang, hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja disebut “loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.

Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik” atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk agama Islam.

Untuk lebih mempererat kerjasama dengan Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan sebelum sang Maharaja wafat.

Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31 Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120 tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring Manik Mayang Sunda).

Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudiann ditaburkan di Rancamaya, Bogor (kini sudah dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).


Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran) untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu. Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila dibeberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai tempat dari makam Prabu Siliwangi.

Badigul adalah nama sebuah kawasan perbukitan yang masuk dalam areal Rancamaya Golf & Country Estate, terletak di Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Hawa sejuk dan panorama alam nan eksotik merupakan keunggulan kawasan yang berjarak sekitar 9 KM di sebelah tenggara kota hujan. Tak heran bila sejak tahun 1992 berdiri perumahan dan padang golf yang megah, salah satu yang termegah di Bogor pada saat itu.

Di balik mewahnya properti dan padang golf Rancaamaya, jarang yang tahu bila kawasan ini menyimpan file sejarah amat berharga tidak hanya bagi maasyarakat Kota dan Kabupaten Bogor atau Jawa Barat saja, melainkan juga bagi masyarakat Indonesia dan dunia. Mengapa demikian? Badigul dahulu merupakan saksi bisu sejarah kebesaran Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang beribukota di kawasan Batutulis, Kota Bogor.

Situs Badigul dan Prasasti Batutulis merupakan dua situs penting penunjuk jalan bagi eksistensi kerajaan Sunda yang paling sohor di mata dunia ini. Prasasti Batutulis dahulu kala merupakan kawasan utama keratin Pajajaran. Sedangkan Situs Badigul tak lain sebagai lokasi semedi, tempat mensuciukan diri, dan pusara para raja Bogor setelah mangkat.

Pengembang Rancamaya sangat beruntung memiliki kawasan yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi perjalanan kerajaan terbesar Nusantara kala itu. Pihak pengembang cukup memahami arti penting nilai sejarah dimaksud. Hal itu ditunjukkan dengan tidak disentuhnya Badigul oleh gencarnya pengembangan properti yang mereka lakukan, terutama setelah dibukanya Jalan Tol Bogor – Ciawi – Sukabumi (BOCIMI).

Keunggulan sisi sejarah ini dapat dijadikan sebagai ciri khas dan brand image untuk meningkatkan nilai jual dan daya saing properti. Tidak ada pengembang manapun di Bogor maupun Jawa Barat yang memiliki situs bernilai sejarah sepenting Rancamaya. Pengembang Rancamaya dapat memadukan kepentingan bisnis dengan pelestarian warisan sejarah secara berdampingan dan bersamaan.

Oleh karenanya, akan sangat luar biasa bila situs ini dibuka untuk umum, dan melibatkan para pemangku adat Sunda yang notabene sebagai penanggung jawab langsung pelestarian budaya Sunda di Bogor Raya. Sisi lain Bukit Badigul, yang tidak dapat dilepaskan dari nama besar Prabu Siliwangi dan sejarah keemasan Kerajaan Pajajaran merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dihapus terlepas dari adanya perusakan dan alih fungsi lahan sejak tahun 1990-an.

Jejak ibukota Kerajaan Pajajaran di Bogor diperkuat oleh keberadaan Prasasti Batutulis. Prasasti ini dibuat Prabu Surawisesa pada 1533, menggunakan aksara Sunda kuno, dituangkan dalam 8,5 baris. Prabu Surawisesa adalah putra Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan alias Prabu Siliwangi. Ia melanjutkan tahta sebagai Raja Pajajaran setelah sang ayah wafat. Prabu Siliwangi wafat pada akhir 1521. Prasasti Batutulis dibuat untuk mengenang 12 tahun wafatnya Prabu Siliwangi.

Prabu Surawisesa melukiskan kepemimpinan sang ayah sebagai era keemasan Sunda. Pada era Prabu Siliwangi daerah kekuasaan Pajajaran membentang kokoh, yang mencakup sebagian Lampung, seluruh wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten hingga barat Jawa Tengah. Sedangkan rakyat Pajajaran dikisahkan hidup makmur, damai dan sejahtera. Peneliti asal Portugis, Scopio menyebut era Prabu Siliwangi sebagai kepemimpinan yang adil dan bijaksana.

Semua mafhum Batutulis sebagai prasasti penting perjalanan Kerajaan Pajajaran. Namun belum banyak masyarakat yang tahu bila Badigul memiliki nilai sejarah yang berkorelasi erat dengan Batutulis. Dalam Prasasti Batutulis dikisahkan, jasa-jasa besar Prabu Siliwangi saat bertahta sebagai raja Pajajaran pada 1482-1521 alias selama 39 tahun, yakni membuat parit (pertahanan) Pakuan, membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, dan membuat Telaga Rena Mahawijaya.

Lokasi Telaga Renamahawijaya diperkirakan berada di sekitar Badigul. Konon danau ini mengelilingi bukit Badigul. Bukit Badigul sendiri dalam sejumlah literatur, dikisahkan sebagai tempat semedi raja-raja Pajajaran kala itu. Badigul merupakan tempat suci para raja untuk bermunajat kepada sang pencipta.

Terdapat ragam opini masyarakat terkait lokasi makam Prabu Siliwangi. Ada yang beranggapan makam raja terbesar Sunda itu berada di Badigul. Ada pula yang menilai makam sang prabu berada di Gunung Salak. Berbagai tragedy di Gunung Salak pun kerap dikait-kaitan sejumlah pihak dengan informasi keberadaan tempat suci raja-raja Sunda di sana. Pendapat berikutnya, makamnya terdapat di Kebun Raya Bogor. Opini lainnya, ia moksa di Leuweung Sancang, Pamengpeuk, Garut.

Dasar pihak yang memiliki pandangan bahwa makam Prabu Siliwangi berlokasi di Bukit Badigul, dalam berbagai literatur sejarah-sejarah Sunda diungkapkan, bahwa Prabu Siliwangi dimakamkan di Badigul, Rancamaya. Karenanya, ia kerap dijuluki Sang Mokteng ing Rancamaya, yang artinya yang dipusarakan di Rancamaya.

Menurut kesaksian warga asli Rancamaya, pada awal pembangunan kompleks perumahan dan padang golf Rancamaya tahun 1992-1993, warga setempat sempat menyampaikan keberatan. Mereka berkeyakinan, di Badigul terdapat sejumlah menhir, prasasti serta sejumlah makam keramat raja-raja Pajajaran. Kini puing-puing sejarah tersebut sudah terkubur tanah. Dan situsnya pun hingga kini masih terpenjara oleh arogansi kapitalis. 


Napak Tilas Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi
Jelang tengah hari Minggu (7/5/17) di depan gerbang perumahan Rancamaya, Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Ratusan pasang mata mengawasi dalam diam kelompok kecil yang terus berdiskusi untuk ijin masuk sebentar ke dalam lokasi perumahan. Mereka adalah panitia dan keamanan dari pihak perumahan. Tampak polisi dan tentara hadir di lokasi tersebut. 


Sekitar 200 meter dari gerbang besi perumahan elit ini, terletak situs Badigul. Situs ini diduga adalah tempat persemayaman terakhir Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran ke-4 yang wafat pada tahun 1521. Ini adalah  tujuan akhir dari rombongan Napak Tilas Prabu Siliwangi,setelah berjalan kaki sejauh 7 kilometer selama hampir dua jam, dari titik awal di Prasasti Batutulis.


Sebagian besar berpakaian adat Sunda. Yang perempuan pakai kebaya atau kemeja hitam dan kain. Sedangkan yang laki-laki berpakaian pangsi, pakaian tradisional Sunda, lengkap dengan iket Sunda di kepala. Rombongan ini terdiri dari berbagai komunitas yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat seperti Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Karawang selain peserta yang datang dari Jabodetabek.



Setengah jam lebih, diskusi intensif dilakukan. Meski menurut Pak Ahmad Fahir dari Baraya Kujang Pajajaran dan ketua panitia acara ini, persiapan dan koordinasi sudah dilakukan tiga bulan sebelumnya. Namun, di saat-saat akhir, pihak pengembang perumahan tetap belum berkenan memberikan ijin. 

Saat tersebut cukup mengecewakan. Tak heran kalau sebagian besar peserta mulai berteriak-teriak.  Mereka hanya ingin sampai ke lokasi situs. Namun, para tokoh adat dan panitia segera menenangkan. Jalan tengah diambil. Ritual budaya dan doa dipanjatkan lantas dilakukan dengan duduk di area depan pagar. Menjelang jam 13.30, rombongan bubar dengan tertib, meski memendam kekecewaan, termasuk saya dan Bimo yang juga hadir hari itu.

Tak berlebihan, kalau memang kekecewaan sulit dipendam. Hampir 5 abad (496 tahun) setelah Prabu Siliwangi wafat, ini mungkin adalah acara napak tilas budaya pertama yang dilakukan, meski dengan sederhana. Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah kerajaan yang tercatat pernah begitu berjaya sekaligus merupakan kerajaan terakhir di tanah Bogor. Jejak sejarah yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Saya sendiri baru "berkenalan" dengan Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pakuan Pajajaran awal 2017, setelah puluhan tahun "buta sejarah". Tulisan ini juga akan mengupas tentang Prabu Siliwangi dari berbagai literatur yang ada.


Mengenal Tokoh Prabu Siliwangi
Ruang ini tentu saja tidak akan muat untuk menceritakan sejarah panjang 222 tahun Kerajaan Pakuan Pajajaran (1357 – 1579) atau tentang masa kepemimpinan Prabu Siliwangi yang hampir mencapai 4 dekade itu (1482 – 1521 atau 39 tahun). Di tulisan ini disertakan beberapa referensi bagi Anda yang juga tertarik untuk menelusurinya. 

Bagaimana bisa seorang yang begitu besar dari kerajaan yang juga besar dan agung tidak banyak tercantum dalam sejarah?.

Cerita yang cukup sering saya dengar tentang Prabu Siliwangi justru kisah tentang bagaimana beliau dapat berubah menjadi harimau ketika dikejar tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon.  Hal ini yang setidaknya dapat saya kaitkan dengan adanya patung maung atau harimau di tempat-tempat yang bernama Siliwangi.

Ternyata pertanyaan tersebut juga cukup banyak terbersit dalam benak masyarakat Sunda. Setidaknya, hal ini  diakui oleh  Saleh Danasasmita (2003), tokoh dan penulis Kebudayaan Sunda, pada bukunya Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.

Yang menarik, nama Siliwangi justru muncul dalam pantun atau babad-babad Sunda.  Danasasmita berpendapat, kalau penulis babad yang ingin mencatat dan memaparkan kejadian sejarah biasanya suka menyebutkan tahun, baik angka tahun maupun lamanya pemerintah raja-raja yang disebutnya. Justru babad semacam ini yang langka di Sunda.

Naskah Pamarican dan Kitab Waruga Jagat hanya menyebutkan runtuhnya Pajajaran. Sedangkan Sajarah Banten hanya menyebutkan waktu keberangkatan laskar Banten dari Surasowan yang hendak menyerbu Pajajaran, yaitu pada tahun 1501 saka atau 1579 Masehi (Danasasmita, 2003, hal 147)

Sumber tertulis yang paling popular yang menyebut nama Siliwangi yaitu Koropak (naskah Lontar) Sanghyang Siksa KandaNg Karesian yang ditulis sekitar 1518 Masehi. Sedangkan dalam Purwa Caruban, cerita tentang Siliwangi tidak menyebutkan tahunnya, meskipun diceritakan tentang identitasnya.

Riwayat hidup Siliwangi yang runtut baru terdapat dalam naskah sejumlah babad yang ditulis pada masa yang lebih kemudian. Tapi, lagi-lagi, babad-babad ini  bermacam-macam versi riwayat dan silsilahnya (Danasasmita, 2003, hal 69).

Karenanya, para ahli sejarah pun juga tidak sepenuhnya salah. Sesuai dengan disiplin keilmuan, seorang tokoh, apalagi sebesar Siliwangi, sepatutnya ada jejaknya, tercatat dalam bukti-bukti sejarah. Meskipun, tanpa bukti sejarah  juga bukan berarti tokoh tersebut tidak benar-benar ada.


Prasasti Batutulis
Salah satu jejak Prabu Siliwangi yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini adalah tulisan yang terpahat di batu. Prasasti Batutulis yang letaknya persisdi depan Istana Batutulis, Bogor, setidaknya menjadi bukti yang cukup kuat akan adanya keberadaan beliau.






Prasasti ini adalah  sakakala yang dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa raja yang telah wafat. Prasasti  9 baris ini ditulis dalam aksara Jawa kuno, namun menggunakan Bahasa Sunda Buhun. Hal ini sempat menjadikan perdebatan ketika para ahli sejarah berusaha menerjemahkannya.

Prasasti Batutulis menyebutkan jasa-jasa Prabu Siliwangi, yaitu antara lain menggali lombang (pertahanan) di Pakuan, membuat tanda peringatan (keagaaman) berbentuk gugunungan serta jalannya memakai batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta serta membuat telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (nyieun sanghyang talaga Rena Mahawijaya). (Suryani, 2009, Danasasmita, 2003, hal 77, Danasasmita, 2014, hal 41)

Konon, prasasti ini dibuat 12 tahun setelah Prabu Siliwangi meninggal atau pada tahun 1533 oleh anaknya, yaitu Prabu Surawisesa atau yang juga dikenal dalam naskah-naskah tradisional sebagai Prabu Guru Gantangan atau Munding Laya (1533). Prabu Surawisesa adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama  Mayang Sunda (Danasasmita, 2003, 2014 hal 58, hal 67)


Tokoh dengan Banyak Nama
Gelar lain Prabu Siliwangi yang tertera dalam prasasti Batutulis adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata  (Danasasmita, 2003, hal 40,  2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).


Bukan Raja Pertama dan Terakhir di Kerajaan Pakuan Pajajaran
Prabu Siliwangi bukanlah raja pertama atau raja terakhir dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.  Menurut catatatan, kakeknya, Wastu Kencana, adalah raja  dengan pemerintahan terlama di kerajaan ini (1371-1475 atau 104 tahun),sedangkan Prabu Siliwangi adalah raja terlama kedua dengan masa pemerintahan 39 tahun (1482-1521).

Dari catatan Danasasmita (2003), ada 9 raja tercatat dalam Kerajaan Pakuan Pajajaran.  Raja pertama Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah Bunisora  (1357). Kalau dari urutan yang disusun ini, maka Prabu Siliwangi atau Ratu Dewata adalah raja ke-4.  Sedangkan raja ke-9 atau terakhir yaitu Nusiya Mulya (1579), sebelum  kerajaan berumur 222 tahun ini runtuhnya kerajaan ini oleh tentara Banten.

Ketika sebagian besar rombongan meninggalkan lokasi, saya, Bimo dan keempat teman baru yang juga peserta Napak Tilas Prabu Siliwangi masih bertahan di lokasi. Tiba-tiba teman-teman baru itu berinisiatif meminta ijin kepada satpam untuk sebentar menengok situs Badigul, karena letaknya hanya 200 meter dari lokasi kami berada. Kami sangat berterima kasih ketika mereka mengijinkan kami masuk (tentu mereka pun menanggung resiko dimarahi atasannya, bukan?).

Meskipun hanya 30 menit berada di lokasi berbentuk gundukan yang menurut kabar dulunya adalah bukit dengan tanah yang dikerok dan tak lagi dapat ditanami, saya pribadi sangat bersyukur, meski masih amat miris.

Bukan salah mereka yang tidak tahu bahwa lokasi ini sangat bersejarah, karena memang tempat ini seperti layaknya taman cantik buatan manusia yang berpadu harmonis dengan rumah-rumah megah di sekelilingnya. Tidak ada catatan atau penanda lokasi yang nilai sejarahnya amat tinggi ini.

Apakah mungkin ada jalan tengah untuk lokasi bersejarah ini dirundingkan dengan pihak pengembang Rancamaya, agar tetap dapat diakses?. Lokasi ini memang sudah menjadi milik perusahaan. Tapi sejarah dan nilainya adalah milik seluruh masyarakat Sunda, milik seluruh warga Indonesia. Ini kekayaan dan bagian dari jati diri kita semua, yang sebaiknya tidak boleh dibatasi aksesnya atas nama kepemilikan swasta!.


Referensi :
  1. Dienaputra, R. D. (2012). Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak.
  2. Lubis, H. N. H. (2016). Kerajaan Sunda. Abstrak.
  3. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017, Tirto.co.id
  4. Mumuh Muhsin, Z. (2012). Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak
  5. Danasasmita, 2014, Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama, Bandung
  6. Danasasmita, 2003, Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama, Bandung
  7. Pengembangan Jalur Wisata Sejarah sebagai Penunjang Wisata Sejarah Kota Bogor,
  8. Febri Nur Wirawan, 2014, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB
  9. Prasasti dan Budaya Sunda. Pikiran Rakyat, 16 November 2009, Elis Suryani N.S. Dosen dan Mahasiswa S3 Filologi Unpad.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama