Jangkar Raksasa Kapal Layar Cheng Ho Di Klenteng Tiao Kak Sie atau Vihara Dewi Welas Asih Cirebon

Klenteng Tiao Kak Sie atau Vihara Dewi Welas Asih adalah sebuah kelenteng Tionghoa yang terletak di Jalan Kantor No. 2 Kampung Kamiran, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon.

Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011, ini dibangun pada tahun 1599 M, Kelenteng atau Vihara ini berada di antara gedung-gedung tua megah bergaya arsitektur art deco peninggalan kolonial Belanda yang kini menjadi kompleks perkantoran.

Memang Vihara ini terlihat biasa saja, sama dengan tempat peribadatan umat Konghucu. Bangunan tempat perubadatan umat Buddha ini sama-sama bergaya khas oriental, lengkap ­dengan ornamen-ornamen, bera­gam pernik dan warna merah darah sebagai penanda. Pembedanya dengan kelenteng ialah pada simbol-simbol Buddha yang lebih menonjol.

Hampir dua abad setelah Kelenteng Talang, baru berdiri Vihara Dewi Welas Asih. Meski bukan didirikan oleh Cheng Ho, tetapi vihara berusia 425 tahun ini menyimpan misteri sejarah yang menjadikannya unik. Ialah keberadaan jangkar raksasa setinggi 5 sampai 6 meter.

Bangunan yang sejak tahun 1950-an resmi dijadi­kan kelenteng itu merupakan peninggalan langsung dari aktivitas Cheng Ho saat singgah di Cirebon. Akan tetapi, belum ada penelitian sejarah yang secara akademik membuktikan hubungan jangkar dengan pelayaran Cheng Ho, ekspedisi laut terbesar di Asia Timur yang berkekuatan lebih dari 300 kapal besar dengan rombongan mencapai 27.000 orang lebih. Jika dihubungkan dengan Laksamana Cheng Ho, diakui lebih masuk akal. Sebab, menurut catatan sejarah, bersama sedikitnya 300 kapal besar dan hampir 30 rombongan, kasim Muslim Cheng Ho melakukan ekspedisi laut ke nusantara itu pada awal abad ke-15, antara tahun 1405 hingga 1433 Masehi.

Vihara Dewi Welas Asih memiliki koleksi patung Toa Pe Kong ter­lengkap di Cirebon dan selalu dikunjungi ribuan orang saat pe­ra­yaan Cap Go Meh dan dibangun tahun 1559 atau pertengahan abad ke-16.

Ada rentang waktu selama 144 tahun atau hampir satu se­tengah abad antara pendaratan kapal Cheng Ho di Cirebon ­de­ngan pembangunan vihara umat Buddha itu. 

Laksamana Cheng Ho ke Cirebon sekitar tahun 1415. Berarti ada rentang waktu hampir satu setengah abad. Cukup masuk akal jika jangkar itu ada hubungan dengan Cheng Ho. Namun, pendapat ini juga belum kuat, apalagi jika diban­dingkan dengan tinggalan jang­kar kapal Cheng Ho yang disimpan di Kelenteng Sam Po Kong ­Se­marang, itu bentuknya berbeda.

Tertimbun tanah
Jangkar raksasa yang oleh masyarakat Cirebon diyakini sebagai tinggal kapal Cheng Ho ditemukan saat pembangunan awal Vihara Dewi Welas Asih di akhir abad ke-16. Keberadaannya pun tertimbun campuran tanah dan pasir laut sedalam dua meter.

Para penggali sempat heran saat menemukan ada benda keras ter­kubur di tanah. Setelah digali lebih dalam, ternyata berupa jangkar besi raksasa seukuran 4,5 sampai 5 meter.

Jangkar ini ditemukan oleh penggali tanah saat perluasan bangunan vihara. Oleh pengelola, lalu diletakkan di tembok serambi utara. Sampai sekarang tidak pernah dipindah karena memang sangat berat.

Jangkar raksasa yang terkubur itu memperkuat nilai arkeologis dan kesejarahan benda itu. Jika dihubungkan dengan pelayaran Cheng Ho, cukup rasional, sebab antara masa persinggahan Cheng Ho terpaut hampir dua abad dan pembangunan vihara dan penemuan jangkar raksasa itu.

Kalau pantura itu ada proses pendangkalan ketika pantai meluas ke wilayah perairan. Bisa jadi, jangkar itu dulunya di laut tapi karena sedimentasi akhirnya terkubur. Dua abad itu cukup masuk akal bila sedimentasi mengubur jangkar itu di kedalaman dua meter di bawah tanah.

Merasa Jangkar itu sebagai benda bersejarah, sampai sekarang ­pengelola Vihara Dewi Welas Asih terus memelihara dan mempertahankan keasliannya. Bahkan, di depan jangkar, dijadikan rupang (tempat peribadatan).

Selaku Biokong atau penjaga Klenteng, Angkim Effendi menuturkan, meski belum ada bukti autentik jangkar raksasa ini diperkirakan telah berusia 200 sampai 300 tahun.

Jangkar yang tersimpan baik didekat salah satu altar di dalam Vihara Dewi Welas Asih ini ditemukan pada saat penggalian untuk bangunan sisi kanan vihara.

“Itu ditemukan pada saat penggalian, dulu ukurannya lebih besar. Tapi, karena, terkikis karat makin mengecil,” kata Angkim.

Berdasarkan cerita yang dikaitkan dengan kebudayaan Cirebon dan leluhur Tionghoa, jangkar raksasa ini diperkirakan datang bersamaan Dampo Awang atau Sam Poo Kong di eretan dengan putri Ong Tien. Bukan hanya putri Ong Tien, kedua pengawal dari yaitu Laksamana Cheng Ho dan Sam Che Kong.

“Turun di eretan Laksamana Cheng Ho pergi menuju Semarang, sementara Sam Che Kong diangkat menjadi bendahara pertama Keraton Kasepuhan dan memiliki nama Tumenggung Arya Diculan,” ujarnya.

Atas dasar tersebut, diperkirakan jangkar ini datang bersamaan dengan Armada kapal Putri Ong Tien dan kedua pengawalnya. Walaupun, sampai saat ini memang belum ada bukti atau jejak asal muasal Jangkar ini. Akan tetapi, jangkar ini sangat dihormati oleh para jemaat yang datang maupun para nelayan yang datang dari berbagai tempat. Bahkan, oleh beberapa orang yang datang jangkar ini kerap diolesi minyak untuk mencegah korosi lebih banyak dan cepat.

“Nggak ada perawatan khusus, tapi kalau ada yang datang terkadang diolesi minyak. Karena, mereka berharap jangkar ini dapat terjaga,” ucap Angkim.

Keberadaan jangkar ini sendiri, menjadi sebuah bukti keberagaman dan toleransi antar umat beragama. Disisi lain, harapan Angkim sendiri agar jejak atau bukti autentik terkait jangkar ini dapat ditemukan dan segera terekspos.


Cheng Ho atau yang lebih dikenal dengan sebutan Laksamana Cheng Ho, berasal dari bangsa hui, salah satu suku minoritas Tionghoa. Ia dikenal sebagai sosok bahariawan muslim yang tangguh dan berjasa besar terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara termasuk Cirebon. Dan konon katanya mertuanya Prabu Siliwangi dari Aci Putih, yaitu Dampho Awang ikut serta dalam pelayaran besar Laksamana Ceng Ho ini.

Meskipun tidak banyak catatan yang bisa menggambarkan masa kecil Cheng Ho atau Sam Po ini, namun diketahui ia dilahirkan di Provinsi Yunan, Tiongkok, Asia Barat Daya pada 1371 dan meninggal pada 1435.

Cheng Ho lahir dari keluarga Tionghoa Muslim taat. Orang tuanya memberinya nama resmi Tionghoa dengan marga Ma (Ma Zhe), sementara Sam Po merupakan nama kecil Cheng Ho. Ia dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Ma Hazhi dan Wen.

Salam Santun.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama