Dewi Sri dalam legenda mati karena Batara Guru gagal mencarikan buah yang diidam-idamkan. Lalu, petani Jawa pada suatu masa memperlakukan padi laiknya perempuan yang patut disayangi. Apa hubungan di antara legenda Dewi Sri dan perlakuan terhadap padi ini?
Dewi Sri minta dicarikan buah yang telah dia idam-idamkan itu sebagai syarat sebelum Batara Guru bisa menyalurkan hasrat kepadanya.
Namun, kematian Sri dalam legenda menghadirkan kesuburan dan kehidupan. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari pusarnya tumbuh tanaman padi. Dari vaginanya tumbuh pohon aren. Dan dari dadanya mencuat buah gantung berupa pepaya. Dari tangannya tumbuh mangga. Dan dari kakinya tumbuh buah-buahan pendam seperti ubi dan ketela. Inilah simbol kehidupan yang menjadi lakon keberadaan mitologi Dewi Sri hingga kini, terutama di kalangan masyarakat agraris dan petani padi. Para petani sangat mencintai Dewi Sri. Kecintaan mereka diwujudkan dalam keprihatinan mereka memelihara padi.
Dari kecintaan itu lahirlah kultur padi. Tak mengherankan, jika para petani Jawa dulu memperlakukan tanaman padi bagaikan perempuan yang patut disayangi. Para petani sadar bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah lemah secara fisik seperti perempuan.
Kesadaran akan hidup yang lemah itu makin menyemarakkan budaya padi. Ketika sawah mulai penuh dengan bulir-bulir padi, mereka melakukan upacara isen-iseni. Mereka menaburkan bubur yang terbuat dari ketan dan gula di pinggir sawah sambil mengucapkan japa mantera agar segala hama padi, seperti burung emprit, babi hutan dan walang sangit janganlah datang ke Tanah Jawa merusak tanaman mereka.
Menurut akar legenda yang sama, hama-hama itu juga berasal dari telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta. Dewi Sri juga berasal dari telur dewa berwujud naga yang tinggal di Bumi ini. Namun, telur yang lalu menjadi hama tersebut jatuh ke tempat yang salah dan menjelma menjadi mahkluk jahat bernama Kala Gumarang. Iri akan kodrat Dewi Sri, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus.
Sesudah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang menjelma menjadi burung emprit dan memusnahkan semua padi sebagai titisan Dewi Sri. Emprit itu kemudian dibunuh Dewa Wisnu. Sayangnya, darah dari satu emprit ini menyiprat kemana-mana, menjadi ribuan emprit, walang dan serangga perusak padi, serta tikus sawah dan babi hutan.
Dalam kesederhanaan yang tertampakkan, masyarakat petani itu tahu bahwa "kultur" harus menang melawan "nonkultur". Simbol Dewi Sri harus menang melawan Batara Guru yang salah hasrat.
Ini diwujudkan dalam penghormatan ritual mereka kepada Dewi Kesuburan, Sang Hyang Sri Nyi Pohaci. Salah satunya, pasren. Pasren adalah tempat tinggal Dewi Sri dalam rumah-rumah tradisional Jawa. Petani Jawa percaya bahwa kemakmuran hidup mereka dan keberhasilan panen mereka amat tergantung pada kemurahan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan dewi padi.
Untuk itu mereka menyediakan tempat khusus bagi Sri di rumah mereka, yaitu pasren ini. Pasren berada di senthong (bilik) belakang atau tengah sebuah rumah. Di sana diletakkan amben (dipan), yang diatapi dengan robyong (hiasan kain lipat). Dipan itu dilengkapi dengan kasur, bantal dan guling, yang berlukis kembang-kembangan, serta langse (kelambu).
Di depan pasren ditaruh pedaringan untuk menyimpan beras, lalu kendi, jlupak (dian berbahan bakar minyak kelapa), sepasang lampu sewu atau robyong, serta kecohan. Di atas dipan juga diletakkan gambar burung garuda.
Petani Jawa percaya, bahwa sewaktu-waktu Dewi Sri berkenan turun ke rumah mereka. Di pasren itulah Dewi Sri akan berdiam dan membaringkan diri. Bila terjadi, mereka berkeyakinan akan mendapat berkah serta kesuburan buat hidup mereka.
Namun, sewaktu-waktu Dewi Sri akan pergi lagi dengan naik garuda. Ada cerita lain soal pasren, loro blonyo, dan ritual perkawinan, yang semuanya berpangkal pada legenda Dewi Sri. Namun, ini akan jadi tulisan tersendiri lagi, kelak. Saat ini, kita jaga fokus dulu soal pepadian dan pertanian.
Pengantin padi ini dihiasi dengan pelangi atau saputangan lalu dibawa pulang dan dibaringkan di pasren. Di pembaringan Dewi Sri itu mereka tidur sampai saatnya mereka dipindahkan ke lumbung padi. Lumbung padi itu tak boleh diusik-usik selama tiga puluh lima hari.
Padi bukanlah tanaman asli Nusantara, bila merunut pelacakan sains, khususnya dari pengenalan genom alias informasi genetik yang ada di setiap makhluk hidup. Ahmad Arif lewat tulisan Evolusi Padi hingga ke Nusantara,, bertutur tentang lacak jejak genom padi hingga ke masa 9.000 tahun silam. Dari situ, diketahui bahwa padi masuk ke Nusantara diperkirakan pada 4.200 tahun silam.
Sebelum peristiwa pendinginan global pada 4.000 tahun lalu, padi diyakini hanya ada di daratan China. Peristiwa pendinginan global ini dikenal di kalangan saintis sebagai epos 4.2k. Epos 4.2k diduga menjadi penyebab orang-orang dari daratan China bermigrasi ke luar kawasan tersebut.
Bersama mereka, dibawa serta padi. Perbedaan dan perubahan iklim memunculkan diversifikasi padi, didukung data tinggalan beras yang digali dari sejumlah situs arkeologi di Asia. "Setelah peristiwa 4.2k, beras tropis bermigrasi ke selatan, sementara beras juga beradaptasi dengan garis lintang utara sebagai varietas beriklim sedang," kata Michael D Purugganan, tim peneliti dari New York University (NYU) Center for Genomics and Systems Biology, dalam riset yang dipublikasikan di Jurnal Nature Plant pada 15 Mei 2020, sebagaimana dikutip di tulisan Arif.
Jejak padi dalam peradaban Nusantara antara lain dapat ditemukan pula di relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa TImur. Sawah muncul ditemuan relief di Trowulan, Jawa Timur, diperkirakan berasal dari abad ke-14. Relief sawah lengkap dengan hama tikus beserta sosok manusia dan anjing pemburu di tepiannya, ada juga di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sekam padi ditemukan pula di situs bata Candi Batujaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jejak sekam padi dari masa 800 SM ditemukan pula di Bali utara.
Jejak padi di Nusantara lebih tua dari ini, tapi bukti-bukti arkeologisnya terbatas," kata Sony Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, sebagaimana dikutip di tulisan Arif. Diversifikasi padi di Nusantara babak berikutnya diperkirakan terjadi pada 2.000 tahun lalu.
Ini setelah kedatangan orang India dengan benih padi versi mereka beserta teknik pertanian sawah. Nusantara sejak zaman dulu kala memang bak melting pot, alias titik temu segala rupa budaya, karena letaknya di persilangan jalur-jalur utama pelayaran, transportasi utama pada masa lalu.
Pada akhirnya, padi yang sama sekali bukan tanaman asli Nusantara pun menjadi bagian yang lekat dengan peradaban Nusantara hingga saat ini. Indonesia bahkan punya benih unggul padi, hasil persilangan benih-benih unggul padi lain.
"Sekalipun tanaman padi memang bukan asli Indonesia, adaptasinya sudah panjang dan kekayaan hayati kita luar biasa. Ini juga menyebabkan kita memiliki sumbangan penting bagi benih unggul padi di dunia,” kata Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur, dikutip dalam tulisan Arif.
Setidaknya, ketika sesuatu telah menjadi legenda rakyat, keberadaannya harus diakui telah menjadi sebuah kesatuan diri bak udara dalam proses bernapas sehari-hari. Bukan berarti pula kita lalu lupa bahwa jauh sebelum kedatangan padi ada pula aneka sumber pangan asli Nusantara, dengan jejak lebih tua, yang patut pula kita gali dan muliakan kembali. Bukankah legenda Dewi Sri sekalipun tak hanya memunculkan padi?
إرسال تعليق