Pesona Sumedang Rilis - Inilah Mitos Antara Buaya Putih VS Keuyeup Bodas di
Waduk Jatigede cerita Mitos yang diceritakan adat secara turun temurun
si Cipaku Darmaraja Waduk Jatigede Sumedang. Walaupun penulis tidak
tinggal di daerah tersebut namun ada hubungan batin yang kuat antara
leluhur (Pendiri Sumedang Larang - Tembong Agung) dengan kami semua.
Buaya putih tak lain adalah jin yang mewakili satu kekuatan besar yang terdapat di kawasan Darmaraja. Sementara itu, keuyeup bodas sebagai penjelmaan jin lain yang merupakan kekuatan lain berupaya mencegah adanya pembangunan waduk.
Jika kawasan tersebut benar-benar menjelma menjadi sebuah telaga, pasti akan muncul dua kekuatan besar yang sama-sama menguasai telaga. Dua kekuatan besar itu satu sama lain tidak ada yang mengalah. Sosok buaya putih dan pengikutnya akan menguasai telaga apabila mereka benar-benar berhasil menjadikan kawasan tersebut menjadi sebuah telaga yang besar dan indah. Namun, keuyeup bodas tidak tinggal diam.
Buaya putih tak lain adalah jin yang mewakili satu kekuatan besar yang terdapat di kawasan Darmaraja. Sementara itu, keuyeup bodas sebagai penjelmaan jin lain yang merupakan kekuatan lain berupaya mencegah adanya pembangunan waduk.
Jika kawasan tersebut benar-benar menjelma menjadi sebuah telaga, pasti akan muncul dua kekuatan besar yang sama-sama menguasai telaga. Dua kekuatan besar itu satu sama lain tidak ada yang mengalah. Sosok buaya putih dan pengikutnya akan menguasai telaga apabila mereka benar-benar berhasil menjadikan kawasan tersebut menjadi sebuah telaga yang besar dan indah. Namun, keuyeup bodas tidak tinggal diam.
Meskipun sebagai makhluk yang lembek dan tidak berdaya, keuyeup bodas
dan pengikutnya akan selalu berusaha menjebol tambakan atau tembok
penahan air bendungan. Bendungan perlahan-lahan akan bocor dan hancur.
Banjir besar tak bisa dielakkan dan akan terus menggenangi area sekitar
bendungan lembek dan tidak berdaya, keuyeup bodas dan pengikutnya akan
selalu berusaha menjebol tambakan atau tembok penahan air bendungan.
Bendungan perlahan-lahan akan bocor dan hancur. Banjir besar tak bisa
dielakkan dan akan terus menggenangi area sekitar bendungan.
Lalu bagaimana kaitan mitos buaya putih dan keuyeup bodas dengan pembangunan waduk Jatigede yang terbengkalai itu? Cerita buaya putih dan keuyeup bodas yang memang sudah mengakar di hati masyarakat Sumedang akhirnya berkembang menjadi polemik yang penuh dengan ornamen-ornamen mitos sejak pemerintah berencana membangun waduk Jategede.
Di satu pihak, ada yang menghendaki sebuah telaga besar dan indah sebagai tempat pariwisata yang tak lain adalah Waduk Jatigede sebagaimana cita-cita Sangkuriang, yang diharapkan bermanfaat bagi rakyat serta santapan empuk para konglomerat.
Namun, di pihak lain, muncul gerakan-gerakan yang menghendaki rencana
tersebut gagal sebagaimana yang dilakukan oleh keuyeup bodas. Mereka
yang tidak setuju merasa tidak rela apabila akar sejarah, tebaran
situs-situs para leluhur Sumedang yang dikeramatkan tercerabut dari akar
budaya karena akan tergenang air.
Selain mitos yang terdapat dalam Babon Darmaraja dan mitos tentang buaya putih dan keuyeup bodas, mitos lain yang berkaitan dengan pem-bangunan waduk Jatigede adalah adanya uga atau semacam ramalan yang menjadi pembicaraan lain yang menggambarkan efek dahsyat jika waduk Jatigede itu bobol.
Uga dalam khazanah sastra Sunda adalah sastra lisan yang menggambarkan peristiwa yang pasti bakal terjadi atau takdir yang tak dapat dihindarkan. Saat penelitian pemetaan sastra lisan inilah kami memperoleh sebuah uga yang menerangkan bahwa kelak di Sumedang akan terjadi banjir besar. Sumber banjir itu tak lain adalah bobolnya tanggul sebuah waduk.
Uga Jatigede Jebol itu bukan hanya teramalkan dalam Uga Keuyeup Bodas Resi Aji Putih,
Selain mitos yang terdapat dalam Babon Darmaraja dan mitos tentang buaya putih dan keuyeup bodas, mitos lain yang berkaitan dengan pem-bangunan waduk Jatigede adalah adanya uga atau semacam ramalan yang menjadi pembicaraan lain yang menggambarkan efek dahsyat jika waduk Jatigede itu bobol.
Uga dalam khazanah sastra Sunda adalah sastra lisan yang menggambarkan peristiwa yang pasti bakal terjadi atau takdir yang tak dapat dihindarkan. Saat penelitian pemetaan sastra lisan inilah kami memperoleh sebuah uga yang menerangkan bahwa kelak di Sumedang akan terjadi banjir besar. Sumber banjir itu tak lain adalah bobolnya tanggul sebuah waduk.
Uga Jatigede Jebol itu bukan hanya teramalkan dalam Uga Keuyeup Bodas Resi Aji Putih,
Jatigede dikeueum bakal ngahudangkeun Keuyeup Bodas anu bakal ngabobol bendungan, Cipelang Cikamayangan, Bandung Heurin Ku Tangtung, Sumedang Ngarangrangan, Kadipaten Kapapaten, Tomo Totolomoan, Cirebon Kabongbodasan, Ujungjaya Ujung Kajayaan, Warung Peti Tempat Mayit, dll.
Jatigede apabila digenangi akan membangunkan kepiting putih yang akan
menjebol bendungan, rupanya yang dimaksud Kepiting Putih adalah Sesar
Baribis, Lembang, dan Cimandiri yang nyambung dan membentuk lengkung
seperti kepiting.
Berdasarkan teks tersebut saya dapat menafsirkan bahwa suatu saat kelak Sungai Cimanuk yang bermata air di Garut akan dibendung dan sebagian kawasan yang ada di daerah Sumedang akan digenangi air. Sawah-sawah dan ladang akan disulap menjadi sebuah telaga yang besar. Kemudian, jika banjir terjadi, daerah yang pertama-tama diseret banjir adalah kawasan Kadipaten yang dalam teks dikatakan bahwa Kadipaten kapapatenan "Kadipaten akan terkena musibah", karena secara geografis Kadipaten letaknya tepat berada di muka bendungan Jatigede. Lalu, Cirebon, tetangganya, akan mendapat malu karena secara tekstual disebut Cirebon kabongbodasan. Cirebon sebagai tetangga Sumedang setelah Kadipaten tentunya akan menerima pengungsi banjir yang berduyun-duyun mencari tempat pengungsian yang lebih aman.
Sementara itu, daerah Sumedang sebagai tempat terjadinya bencana akan menjadi kawasan kering dan tandus akibat bekas air yang menggenanginya. Sumedang akan semakin mengecil yang dalam teks uga dikatakan Sumedangngarangrangan. Kemudian, Galunggung sebagai gunung dengan posisinya yang tinggi akan menjadi sebuah tempat yang pantas untuk memandangi sebuah kejadian yang dalam teks dikatakan Galunggung ngadeg Tumenggung.
Bahasan ringkas tentang “Pembangunan Waduk Jatigede dan Mitos-Mitosnya dalam Sastra Lisan Sunda” menunjukkan mitos - yang dalam hal ini salah satu jenis sastra lisan Sunda - sebagai pemulyaan nilai-nilai etika terus berperan dalam kehidupan. Adanya mitos dalam Babon Darmaraja, mitos buaya putih dan keuyeup bodas serta mitos uga tentang Sumedang oleh masyarakat Sumedang dijadikan pegangan untuk menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dan bakal terjadi di lingkungannya.
Dengan demikian, pandangan, pikiran, ucapan, dan perilaku masyarakat yang akan dijalani dikorelasikan dengan mitos yang dipercayai yang mampu meramalkan suatu peristiwa yang akan terjadi. Di sisi lain, hal itu sesuai dengan pandangan bahwa mitos sebenarnya tidak pernah mati. Hampir di mana pun mitos memang tidak pernah mati dan selalu terpelihara. Soal kemudian mitos mengalami dekonstruksi karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman, itu masalah lain lagi. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai mitos sebagai salah satu sumber peradaban.
Sebelum tulisan ini berakhir, satu pertanyaan yang terus mengganggu adalah apakah mitos-mitos tersebut akan berbuah menjadi kenyataan? Jawabnya pendek dan sederhana: tak seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan itu karena sesuatu yang tersembunyi adalah mutlak hak Allah. Namun, jangan lupa tak selamanya rahasia itu tersembunyi manakala manusia mempunyai kiat-kiat dalam mengungkapkannya.
Berdasarkan teks tersebut saya dapat menafsirkan bahwa suatu saat kelak Sungai Cimanuk yang bermata air di Garut akan dibendung dan sebagian kawasan yang ada di daerah Sumedang akan digenangi air. Sawah-sawah dan ladang akan disulap menjadi sebuah telaga yang besar. Kemudian, jika banjir terjadi, daerah yang pertama-tama diseret banjir adalah kawasan Kadipaten yang dalam teks dikatakan bahwa Kadipaten kapapatenan "Kadipaten akan terkena musibah", karena secara geografis Kadipaten letaknya tepat berada di muka bendungan Jatigede. Lalu, Cirebon, tetangganya, akan mendapat malu karena secara tekstual disebut Cirebon kabongbodasan. Cirebon sebagai tetangga Sumedang setelah Kadipaten tentunya akan menerima pengungsi banjir yang berduyun-duyun mencari tempat pengungsian yang lebih aman.
Sementara itu, daerah Sumedang sebagai tempat terjadinya bencana akan menjadi kawasan kering dan tandus akibat bekas air yang menggenanginya. Sumedang akan semakin mengecil yang dalam teks uga dikatakan Sumedangngarangrangan. Kemudian, Galunggung sebagai gunung dengan posisinya yang tinggi akan menjadi sebuah tempat yang pantas untuk memandangi sebuah kejadian yang dalam teks dikatakan Galunggung ngadeg Tumenggung.
Bahasan ringkas tentang “Pembangunan Waduk Jatigede dan Mitos-Mitosnya dalam Sastra Lisan Sunda” menunjukkan mitos - yang dalam hal ini salah satu jenis sastra lisan Sunda - sebagai pemulyaan nilai-nilai etika terus berperan dalam kehidupan. Adanya mitos dalam Babon Darmaraja, mitos buaya putih dan keuyeup bodas serta mitos uga tentang Sumedang oleh masyarakat Sumedang dijadikan pegangan untuk menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dan bakal terjadi di lingkungannya.
Dengan demikian, pandangan, pikiran, ucapan, dan perilaku masyarakat yang akan dijalani dikorelasikan dengan mitos yang dipercayai yang mampu meramalkan suatu peristiwa yang akan terjadi. Di sisi lain, hal itu sesuai dengan pandangan bahwa mitos sebenarnya tidak pernah mati. Hampir di mana pun mitos memang tidak pernah mati dan selalu terpelihara. Soal kemudian mitos mengalami dekonstruksi karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman, itu masalah lain lagi. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai mitos sebagai salah satu sumber peradaban.
Sebelum tulisan ini berakhir, satu pertanyaan yang terus mengganggu adalah apakah mitos-mitos tersebut akan berbuah menjadi kenyataan? Jawabnya pendek dan sederhana: tak seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan itu karena sesuatu yang tersembunyi adalah mutlak hak Allah. Namun, jangan lupa tak selamanya rahasia itu tersembunyi manakala manusia mempunyai kiat-kiat dalam mengungkapkannya.
TERKAIT "JATI KA SILIH KU JUNTI"
Situs-situs Lemah Sagandu Kabuyutan Cipaku yang berada di daerah genangan Jatigede sudah ada sejak jaman pra sejarah, Situs-situs tersebut itu seharusnya dilestarikan dan dikembangkan menjadi Obyek Wisata Sejarah, Budaya, Edukasi, dan Spiritual agar seluruh Masyarakat Sunda Tahu Sejarah dan Budaya bukan hanya dari Buku Cerita ataupun Tuturan Lisan Orang Tua, mereka bisa melihat langsung bukti nyata Situsnya melalui mata kepalanya sendiri bukan malah justru akan ditenggelamkan dengan dalih Pembangunan Waduk!
Situs-situs Lemah Sagandu Kabuyutan Cipaku yang berada di daerah genangan Jatigede sudah ada sejak jaman pra sejarah, Situs-situs tersebut itu seharusnya dilestarikan dan dikembangkan menjadi Obyek Wisata Sejarah, Budaya, Edukasi, dan Spiritual agar seluruh Masyarakat Sunda Tahu Sejarah dan Budaya bukan hanya dari Buku Cerita ataupun Tuturan Lisan Orang Tua, mereka bisa melihat langsung bukti nyata Situsnya melalui mata kepalanya sendiri bukan malah justru akan ditenggelamkan dengan dalih Pembangunan Waduk!
Membangun Waduk bisa dimana saja Kabupaten Sumedang dan Jawa Barat itu
sangat luas tidak harus menenggelamkan Puluhan Situs Cagar Budaya yang
merupakan Situs-situs yang diprediksi sebagai Titik Balik Kebangkitan
Pajajaran Baru yang akan membawa Indonesia/ Nusantara kepada kemakmuran
dan kesejahteraan, mengangkat harkat martabat Bangsa Indonesia yang kini
sudah tidak ada harganya di mata dunia.
Inikah Revolusi Mental itu? "Kita Lebih Bodoh dari Generasi Sukarno Hatta", nah dibukunya itu mengulas tulisannya Romo Mangun Wijaya Almarhum.
Oleh karena itu perlu Revolusi Moral, Budaya, dan Spiritual untuk membangkitkan lagi Nilai-nilai Kearifan Budaya Luhur yang dulu dimiliki bangsa kita.
Inikah Revolusi Mental itu? "Kita Lebih Bodoh dari Generasi Sukarno Hatta", nah dibukunya itu mengulas tulisannya Romo Mangun Wijaya Almarhum.
Oleh karena itu perlu Revolusi Moral, Budaya, dan Spiritual untuk membangkitkan lagi Nilai-nilai Kearifan Budaya Luhur yang dulu dimiliki bangsa kita.
Oleh karenanya perlu kiranya pemerintah untuk berfikir untuk Bendungan Jatigede agar lebih BIJAKSANA, dengan cara menurunkan volume penggenangan dari 261 mdpl menjadi 220 mdpl agar Kampung Buhun, Sawah Subur, Hutan Rimbun, dan Situs Cagar Budaya Megalitikum Kabuyutan Cipaku bisa diselamatkan.
Sumber :
1. Jurnal Sosioteknologi ITB, Edisi 20 Tahun 9, Agustus 2010 by Ir. Yeni Mulyani Supriatin.
2. Tulisan FB Paguyuban Keuyeup Bodas
3. https://kabuyutancipaku.wordpress.com/2015/01/10/jatigede-jebol-dalam-uga-keuyeup-bodas-wangsit-siliwangi/
Posting Komentar