Polemik Mahkota Binokasih Sumedang (Makuta Binokasih Sanghyang Pake)

Pesona Sumedang Rilis - Terkait polemik perebutan Mahkota Binokasih (Makuta Binokasih Sanghyang Pake), antara Sumedang (Sumedang Larang) dan Ciamis (Galuh), secara kedaerahan tidak ada masalah disimpan dimanapun, asal masih di tanah Sunda. Namun, perebutan mahkota warisan kerajaan Sunda antara kedua belah pihak itu, menandakan kelemahan Sunda.

Mahkota itu merupakan salah satu simbol dan peninggalan kerajaan Padjadjaran (Sunda). Kini masih tersimpan dalam lemari kaca berlempeng besi menjadi daya tarik pengunjung yang datang ke Museum Geusan Ulun Sumedang.

Saya ingin mencoba menceritakan sekilas sejarah mengenai Mahkota Binokasih Sanghyang Pake, atau biasa juga disebut "Mahkota Binokasih" saja, sebuah mahkota yang menjadi lambang kebesaran kerajaan-kerajaan di tanah sunda pada masa lalu. Sebelum diwariskan/diberikan kepada Kerajaan Sumedang Larang dan menjadi pusaka Sumedang,  Mahkota Binokasih merupakan lambang kebesaran Kerajaan Padjadjaran, kita flashback sejenak kenapa mahkota kebesaran Kerajaan Padjadjaran ini bisa berada di Sumedang dan seolah menjadi legitimasi menjadikan Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Padjadjaran (tapi maaf kalau cerita sejarahnya banyak kekurangan, maklum bukan ahlinya, hanya mencoba menceritakan kembali garis besarnya).

1. Petikan dari CARITA PADJADJARAN
Batara Guru di Jampang ma inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pake basa wastu dijieun Ratu. Beunang nu pakabrata sewaka ka dewata nu ditiru oge pake Sanghiyang Indra, ruku ta.
Terjemahan :
Batara Guru di Jampang itulah pembuat Mahkota SANGHIYANG PAKE ketika yang berhak (atas tahta = Wastu Kancana) dinobatkan menjadi Raja. (Mahkota itu) buatan (hasil) bertapa bakti kepada dewa yang ditirupun adalah Mahkota Sanghiyang Indra, itulah (keadaan) Mahkota tersebut.

2. Hyang Bunisora memerintah Pakuan Sunda/Pajajaran 1357 – 1371 sedangkan Wastu Kancana memerintah dari tahun 1371 – 1475 selama 103 tahun 6 bulan dan 15 hari.

3. Ketika 4 (empat) Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran (kira-kira tanggal 8 Mei 1579, Pakuan sebagai ibukota Kerajaan Pajajaran jatuh ketangan tentara Surasowan Banten) meninggalkan Pajajaran, setelah direstui Raja Pajajaran untuk mencari penguasa baru (Geusan Ulun Kumawula), tentunya dengan membawa barang berharga yang dapat meyakinkan Penguasa yang dituju bahwa mereka adalah pegawai Istana dengan kedudukan yang tinggi, yang dibawa mereka diantaranya adalah Mahkota dan atribut Kerajaan lainnya (kujang).

Prabu Geusan Ulun yang sedang memerintah Kerajaan daerah Sumedang Larang (ibu kotanya Kutamaya), memerintah dari tahun 1579 – 1610, menerima 4 (empat) Kandaga Lante diatas.

Mahkota yang dibawa oleh Kandaga Lante itu dipakai saat penobatan menjadi Prabu Geusan Ulun Nalendra Kerajaan Sumedang Larang.

4. Pada tanggal 20 Januari 1856 Tumenggung Somanagara cucu Pangeran Kornel dilantik menjadi Bupati Sumedang (Th. 1836 – 1881) dengan gelar Raden Tumenggung Suria Kusumah Adinata. Dengan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 memperoleh gelar Pangeran, tapi masyarkat Sumedang menamakannya Pangeran Sugih, karena Sugih harta/kekayaan dan putera. Barangkali Mahkota (pusaka) yang ada sudah terlalu tua sehingga perlu diadakan renovasi, dibuatlah Mahkota dengan type Bhinoka Sri yang dipakai Batara Indra dan Batara Rama di dunia wayang. Karena Pangeran Sugih banyak puteranya maka untuk memberi makna yang lebih mendalam terhadap sebutan “Raja sehari” yang sering ditujukan kepada pengantin, maka dibuatlah Replika dari Mahkota Bhinoka Sri dan dapat digunakan oleh keturunan bilamana dikala melakukan pernikahan.



MAHKOTA BINO KASIH (BINOKA SRI)
Mahkota asli dibuat oleh Sanghyang Bunisora Suradipati untuk penobatan Raja Galuh bernama Prabu Niskala Wastu Kancana th. 1371. Sejak Pajajaran runtuh diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun (Raja Sumedang Larang).
  • Mahkota terbuat dari emas bagian dalam berlapis beludru.
  • Bentuknya meniru Mahkota Batara Indra seperti yang tergambarkan dalam pewayangan.
  • Bagian utama dari mahkota adalah bentuk yakni bagian yang menutup kepala hingga dahi berbentuk Silindrik.
  • Puncak kuluk dihias sejenis stupa berbentuk kuncup bunga teratai.
  • Permukaan atas dihias motif tumpal dan suluran serta hiasan tumpal berbentuk daun, sedang kain bagian bawah dibuat hiasan terawangan bermotif suluran daun dan bunga.
  • Bagian-bagian lain dari mahkota adalah turidha (jamang sada seler) terletak didepan berbentuk kelopak bunga berhiaskan permata hijau. Diatas turidha terdapat 2 buah jamang berbentuk mahkota bunga disebelah kanan kiri kuluk (bagian pelipis) terdapat ron berupa hiasan timpal bersusun tiga, salah satu hiasan berbentuk seperti ikan dan ujung belakang berjumbai biji mentimun. Dibelakang ron terdapat sumping yaitu hiasan berbentuk seperti sayap bersusun tiga.
  • Pada bagian belakang kuluk dihias jungkat penatas berbentuk daun dan garuda mungkur.


MAKNA ATAU ARTI DARI BAGIAN-BAGIAN MAHKOTA BINOKASIH/BINOKA SRI DAN PERLENGKAPANNYA
Nama Mahkota adalah Binokasih/Binoka sri, dengan bentuknya menyerupai Mahkota Batara Indra, yang melambangkan keluhuran sebagaimana layaknya seorang Raja. Dari keseluruhan bagian–bagian lambang Mahkota Binokasih/Binoka Sri terkandung nilai, agar mempelai Pria dalam kehidupan berumah tangganya kelak akan mempunyai sifat–sifat yang dimiliki Batara Indra.
  • Filosofi dari Hiasan Stupa yang berbentuk Kuncup Bunga Teratai dengan jumlah Kelopak Bunga sebanyak 6 (enam) lembar. Bunga Teratai adalah jenis tumbahan air yang berbunga indah dan mengandung Filosofi tentang kesucian hati, bahwa seorang Suami atau seorang Istri di dalam membina rumah tangganya harus di dasari dengan rasa Cinta yang tulus dan sepenuh hati. Adapun jumlah kelopaknya yang sebanyak 6 lembar adalah mempunyai makna yang berkaitan dengan Rukun Iman.
  • Kain atau Sinjang yang bermotif Rereng Barong besar untuk dikenakan oleh Penganten Laki 
  • Laki dengan cara di pakai di dodotkan. Cara di dodotkan tersebut melambangkan Filosofi bahwa untuk setiap Penganten diharapkan sudah dianggap siap untuk memasuki tahap babak baru unutk mengarungi hidup baru, dalam arti bahwa kedua mempelai sudah menjadi anggota Masyarakat sepenuhnya.
  • Baju warna Kuning Dengan lengan panjang tiga perempat, warna kuning melambangkan keagungan.
  • Kilat Bahu yang berbentuk Ular Naga yang dipakai untuk Penganten Laki – Laki, melambangkan kesiapan Fisik dan Mental di dalam menghadapi tanggung jawab sebagai Suami.
  • Kilat Bahu yang berbentuk Burung Garuda dipakai kepada Penganten Perempuan mengandung arti bahwa seorang Istri harus kuat dan tabah dalam menghadapi suka dan duka hidup berrumah tangga.
  • Dua belah Gelang yang dipakai oleh Penganten Laki–laki dan Penganten Perempuan bermakna harus mempunyai kebulatan hati di dalam memasuki babak hidup baru guna mengarungi kehidupan berumah tangga.
  • Penganten Laki–laki memakai Keris yang melambangkan Kepahlawanan, bahwa seorang Suami diharapkan dalam mengayuh hidup berumah tangganya mempunyai sifat Kepahlawanan sehingga mampu menjadi pelindung dan mempunyai tanggung jawab kepada keluarga
  • Benten atau ikat pinggang melambangkan arti bahwa setelah memasuki rumah tangga kelak di kemudian hari, diantaranya harus berani menahan lapar dari pada memberi makan keluarga dari cara yang tidak baik.
Dari beberapa sumber dikatakan bahwa Mahkota Binokasih ini dibuat atas prakarsa Sanghyang Bunisora Suradipati, yaitu seorang raja dari Kerajaan Galuh, Kerajaan Galuh sendiri merupakan sebuah kerajaan besar  pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Singkat cerita, dikisahkan ketika Kerajaan Padjadjaran dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja (atau dalam berbagai litelatur kita lebih familiar dengan sebutan Prabu Siliwangi), Kerajaan Padjadjaran diserang oleh gabungan pasukan Islam dari Cirebon, Banten, dan Demak, saat itu Kerajaan Padjadjaran terdesak dan hampir jatuh akibat serangan tersebut. Sebelum Kerajaan Padjadjaran benar-benar runtuh, Prabu Siliwangi mengutus 4 orang Kandaga Lante kepercayaannya untuk membawa Mahkota Binokasih beserta perlengkapannya ke Sumedang Larang dengan harapan Sumedang Larang dapat meneruskan kejayaan Kerajaan Padjadjaran.

Karena pada waktu itu Sumedang Larang merupakan sebuah kerajaan bawahan dari Kerajaan Padjadjaran, jadi mungkin bisa dikatakan bahwa kekuasaan Kerajaan Padjadjaran ini diturunkan atau diwariskan kepada Sumedang Larang, dari atasan kepada bawahan. Alasan kenapa dipilih Sumedang Larang sebagai penerus adalah karena pada waktu itu Kerajaan Sumedang Larang telah menganut agama Islam dan tidak ikut diserang oleh pasukan gabungan Islam, selain itu Sumedang juga dipimpin oleh seorang pemuda yang dikenal cerdas dan berwibawa bernama Pangeran Angkawijaya (atau kita lebih familiar dengan nama Pangeran/Prabu Geusan Ulun), yang dikemudian hari Pangeran Angkawijaya ini menjadi seorang raja yang fenomenal karena berkat kepemimpinannya beliau mampu menjadikan Kerajaan Sumedang Larang disegani hingga dikenal ke semua penjuru.

Empat orang Kandaga Lante yang diutus oleh Prabu Siliwangi adalah Eyang/Embah Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu), Embah Terong Peot, Embah Kondang Hapa (Pancer Buana), dan Embah Nangganan, dikisahkan dari keempat orang Kandaga Lante tersebut Embah/Eyang Jaya Perkosa lah yang paling hebat ilmu silatnya. Ketika ke empat orang Kandaga Lante utusan Prabu Siliwangi tiba di Sumedang, keempat orang Kandaga Lante tersebut menyerahkan Mahkota Binokasih dan menyampaikan amanat atau titah dari Prabu Siliwangi agar Sumedang Larang meneruskan kekuasan Kerajaan Padjadjaran yang tengah terpojok saat itu, dan kemudian keempat orang Kandaga Lante ini pun mengabdikan diri kepada Sumedang Larang serta berperan penting dalam membantu Prabu Geusan Ulun mencapai kejayaan Kerajaan Sumedang Larang dikemudian hari.

Pada tanggal 22 April 1578, Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Prabu Sumedang Larang penerus Kerajaan Padjadjaran, dan tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Mahkota Binokasih dengan segala perlengkapan perhiasan kerajaan yang dibawa dari Kerajaan Padjadjaran tersebut kini tersimpan rapi di Museum Prabu Geusan Ulun, menjadi salah satu saksi bisu perjalan panjang sejarah Kabupaten Sumedang, dari dulu hingga saat ini.

Oleh karena  itu ketika diperebutkan, sesungguhnya hilang kasih sayang, spirit Siliwangi yang punya semangat lindungi hutan, sungai, air, tanah, udara, lindungi orang kecil. Sangat beralasan untuk tidak diperebutkan. Apalagi, bagi yang secara otoritas tidak punya kewenangan terkait hal itu. Yang pasti, Mahkota Binokasih ini simbol kasih sayang dari pemimpin Sunda pada rakyatnya

1 تعليقات

  1. bukannya yang memerintah pajajaran pada saat diserang pasukan gabungan islam adalah ragamulya suryakencana??
    berarti yang menyuruh 4 kandaga lante menyerahkan mahkota adalah ragamulya bukan sri baduga..
    karena sri baduga memerintah sebelum penyerangan pasukan gabungan..
    mohon penjelasan biar ga simpang siur..
    hatur nuhun

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم